Sunday, December 19, 2010

Saturday, December 18, 2010

Candi Bajang Ratu

Gapura Bajangratu terletak di Dukuh Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kab. Mojokerto, Jawa Timur.

Deskripsi Bangunan
Dilihat dari bentuknya gapura ini merupakan pintu gerbang tipe "pradakursa" yaitu gapura yang memiliki atap. Bahan utamanya adalah bata, kecuali lantai tangga serta ambang pintu yang dibuat dari batu andesit. Denah bangunan berbentuk segiempat berukuran 11,5 x 10,5 meter, tingginya 17, 5 meter dan lebar lorong pintumasuk 1,4o meter. Secara vertikal, Gapura Bajangratu dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu kaki, tubuh dan atap. Selain itu gapura mempunyai sayap dan pagar tembok dikedua sisinya. Pada kaki gapura terdapat hiasan panil yang menggambarkan cerita "Sri Tanjung".

reliefpintu
Keseluruhan bangunan terdiri dari bagian induk dengan struktur kaki, tubuh dan atas, bagian sayap serta tembok keliling. Bangunan peninggalan Majapahit ini berbentuk paduraksa (bangunan berupa pintu gerbang dengan atap yang menyatu) yang kiri-kanannya bersayap dan bagian-bagiannya dihiasi relief-relief yang jarang ditemukan pada sebuah gapura.

Pada sudut-sudut kaki gapura masing-masing terdapat panel-panel yang pada bagian depannya dihiasi dengan relief (keadaannya sudah aus). Hiasan pada panel pertama (secara samar-samar) berupa dua orang berdiri dikelilingi oleh sulur-sulur mungkin seorang pari dan wanita. Panel kedua terdapat seekor ikan paus yang menyemburkan air, di atasnya ada hiasan menyerupai bonggol rumput di tengah riak air atau kalajengking yang berkaki enam dengan sengatnya.

Pada panel kiri digambarkan seorang wanita mengendarai ikan paus yang dipahatkan serupa dengan relief sebelumnya. Relief pada panel terakhir menggambarkan ceritera Sri Tanjung (seorang wanit mengendarai ikan). Menurut Sri Suyatmi Satari urutan relief di kaki gapura ini adalah:
1.Sidapaksa dan isterinya, Sri Tanjung.
2.Mungkin suma Sri Tanjung mengendarai ikan paus menyeberangi sungai menuju alam baka.
3.Sri Tanjung mengendarai ikan.
4.Sri Tanjung setelah sampai ke alam baka, berdiri dengan menoleh ke belakang.

kepala
Bagian atap terletak di atas tubuh candi setinggi 8,38 meter. Bagian ini banyak dihiasi dengan pahatan-pahatan kecil sehingga nampak indah dan unik, setiap dua lapis atap diselingi oleh deretan menara yang pejal dan bersambung dengan tingkat atap berikutnya. Hiasan menara ini berjumlah tiga tingkat. Dua lapisan atap yang terbawah tidak berhias atau mungkin telah rusak. Dua lapis ke dua masing-masing berhiaskan:

- Kepala kala di tengah dengan sepasang taring yang panjang yang mirip dengan sepasang duri seperti pipi kala Candi Jago.
Sisi kiri maupun sisi kanan kepala kala diapit oleh dua ekor binatang yang berdiri berhadapan, tetapi mempunyai sebuah kepala saja berupa kala. Relief serupa ini kita dapatkan pula pada Candi Jago. Sistem pahatan simetris berupa binatang atau makhluk lainnya yang digambarkan berhadapan ke arah pusat yang berupa kala dapat kita lihat pada gunungan wayang.

- Relief matahari memancarkan sinar.
Matahari ini merupakan perubahan bentuk dari kepala kala. Karena ada gigi dan taring panjang di bawah relief matahari. Dua ekor naga yang berkaki dan bercakar berdiri berhadapan menghadap ke arah matahari.

Naga itu bertelinga panjang dan bertanduk. Moncongnya menganga dan bergeligi tajam. Di dekat telinga terdapat sungut; tampak jelas garis yang membatasi punggung dan perutnya. Punggung bagian belakangnya menyerupai punggung buaya, sedangkan ekornya berujungkan sulur-suluran.

Pada lapis atau ketiga berhiaskan relief kepala atau mungkin kepala garuda yang dipahat miring. Relief ini terdapat di bagian tengah maupun sudut-sudut atas. Kepala-kepala kala yang di tengah diapit oleh sepasang binatang seperti motif yang terdapat pada Candi Panataran.

atap
Dua lapis atas ke empat berhiaskan monocle cyclops atau Si Mata Satu bentuknya menyerupai siput yang bulat sebagai pengganti dari kepala kala, baik di tengah maupun di sudut atap.

Hiasan pada tingkat atap di bawah puncak atap berupa hiasan geometris dan kelopak bunga, sedangkan puncak atap sendiri diberi hiasan seperti bonggol.

Pada sayap gapura terdapat ceritera Ramayana, yaitu menggambarkan dua orang yang sedang berkelahi. Salah seorang di antaranya menderita kekalahan karena badannya diinjak oleh musuhnya yang berbentuk seekor kera. Pihak yang kalah berbadan besar dan berkepala raksasa.

Penampilan-penampilan gapura dihias dengan pelipit bawah, pelipit tengah dan pelipit atas masing-masing diukir dengan rangkaian bunga atau hiasan belah ketupat panjang, ada beberapa pelipit yang belum sempat diukir.

Bingkai di kiri-kanan pintu masuk berdiri pahatan berupa binatang bertelinga panjang dengan ekor berbentuk sulur gulung naik ke atas. Sulur gulung ini pun tidak selesai di pahat.

Sebagian besar bingkai masih polos atau diberi goresan rancangan. Di atas lantai dipahatkan sepasang umpak dengan dua buah lubang bekas engsel pintu yang daun pintunya membuka ke dalam.

Bajangratu dalam Sejarah

pagi bajang ratu

Gapura Bajangratu masih banyak menyimpan hal-hal yang belum diketahui secara pasti baik mengenai masa berdirinya, raja yang mendirikan, fungsi maupun segi-segi lainnya. Nama Bajangratu pertama kali terdapat dalam Oudheidkundig Versalag (OV) tahun 1915, yang menyebutkan bahwa bangunan tersebut telah diperbaiki dengan penguatan pada bagian sudut dengan cara mengisi spesi dari campuran PC dan pasir halus pada nat-nat yang renggang.

conten bjang ratu
Gapura Bajangratu mungkin dikenal sebagai salah satu pintu gerbang Kraton Majapahit. Keletakannya di Dukung Kraton menunjukkan kaitannya dengan istana. Menurut legenda penduduk setempat, bangunan berupa kala Majapahit itu dibangun untuk mengenang seorang putera mahkota Majapahit semasa dalam kandungan tapi bayi mahkota kemudian mati saat dilahirkan.

Bangunan itu kemudian dinamakan Gapura Bajangratu, yang berarti gagal menjadi ratu. Penduduk setempat percaya bahwa siapa yang berani masuk melalui gapura itu tidak akan naik pangkat.

Sri Suyatmi Satari menyebutkan bahwa Gapura Bajangratu diperkirakan dibangun sekitar abad XIII dan abad XIV untuk memperingati wafatnya Raja Jayanegara. Jayanegara atau Kalagement adalah Raja Majapahit yang memerintah antara tahun 1309-1328 M. Ia adalah anak dari Kertarajasa dengan Dyar Sri Tribhuwaneswari. Di dalam prasasti Taharu yang berangka tahun Saka 1245 (1323 M), Jayanegara disebtukan dengan nama gelas Sri Sundara Pandyadewadhiswara. Pada waktu ayahnya masih memerintah yakni pada tahun 1218 S (1296 M), ia sudah dinobatkan sebagai raja muda (Kumararaja) dengan nama Abhiseka Sri Jayanegara. Hal ini mungkin ada hubungannya dengan nama Bajangratu, yaitu dinobatkan tatkana masih “bajang” sehingga jelas menjadi ratu waktu masih “bajang” atau Ratu Bajang atau Bajangratu melekat padanya.

Dalam Pararaton dijelaskan bahwa Jayanegara wafat pada tahun 1328 M. Teks itu berbunyi: “sira dhinarmeng Kapopongan, bhisekering sranggapura, pratistaning antarwulan.” Menurut Krom (1926), Sranggapura sama dengan Sri Ranggapura dalam Nagarakertagama, sedangan Antarwulan sama dengan Antarisasi. Atas dasar ini maka dapat dikatakan bahwa dharma (tempat suci) Raja Jayanegara berada di Kapopongan alias Sranggapura atau Sri Ranggapura. Pratistanya (bangunan suci) berada di Antarwulan atau Trowulan. Arcanya yang berbentuk Wisnu terdapat di Babat dan Shila Petak, sedang yang dalam bentuk amonghasidi terdapat di Sukalila.

PemugaranGapura Bajangratu telah dipugar sejak 1985/1986 sampai dengan 1990/1991. Pemugarannya merupakan bagian dari kegiatan besar proyek pemugaran/pemeliharaan bekas ibukota Majapahit di Trowulan. Kini tinggal upaya kita untuk turut melestarikannya sebagai warisan budaya untuk memperkuat kepribadian bangsa dan sebagai obyek wisata.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1994. Khasanah Budaya Nusantara V. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Friday, December 17, 2010

Mengenal Tafsir Syekh Abdul Qodir al-Jilani

Jakarta, NU Online
Komunitas Muslim Indonesia tentu tidak asing dengan nama Syekh Abdul Qodir al Jilani. Namanya selalu disebut dalam wirid-wirid, dalam ritual keagamaan, baik di masjid-masjid, di musholah-musholah, di rumah-rumah, dan di mana-mana. Bahkan sketsa wajahnya digambar di kaos-kaos.

Thursday, December 16, 2010

Al-Imam Abu Abdillah Al-Bushiri (Pengarang Maulid Al-Burdah)

Yaa Rabbi bilmusthofa balligh maqoshidana,
Waghfir lana ma madha yaa waasi'al karomi.

Qasidah Burdah adalah salah satu karya paling populer dalam khazanah sastra Islam. Isinya, sajak-sajak pujian kepada Nabi Muhammad SAW, pesan moral, nilai-nilai spiritual, dan semangat perjuangan, hingga kini masih sering dibacakan di sebagian pesantren salaf dan pada peringatan Maulid Nabi. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti Persia, Turki, Urdu, Punjabi, Swahili, Pastum, Melayu, Sindi, Inggris, Prancis, Jerman dan Italia.

Al Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidz

Al-Imam Al-’Arifbillah Al-Musnid Al-Hafizh Al-Mufassir Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh.  Beliau adalah al-Habib ‘Umar putera dari Muhammad putera dari Salim putera dari Hafiz putera dari Abd-Allah putera dari Abi Bakr putera dari‘Aidarous putera dari al-Hussain putera dari al-Shaikh Abi Bakr putera dari Salim putera dari ‘Abd-Allah putera dari ‘Abd-al-Rahman putera dari ‘Abd-Allah putera dari al-Shaikh ‘Abd-al-Rahman al-Saqqaf putera dari Muhammad Maula al-Daweela putera dari ‘Ali putera dari ‘Alawi putera dari al-Faqih al-Muqaddam Muhammad putera dari ‘Ali putera dari Muhammad Sahib al-Mirbat putera dari ‘Ali Khali‘ Qasam putera dari ‘Alawi putera dari Muhammad putera dari ‘Alawi putera dari ‘Ubaidallah putera dari al-Imam al-Muhajir to Allah Ahmad putera dari ‘Isa putera dari Muhammad putera dari ‘Ali al-‘Uraidi putera dari Ja’far al-Sadiq putera dari Muhammad al-Baqir putera dari ‘Ali Zain al-‘Abidin putera dari Hussain sang cucu laki-laki, putera dari pasangan ‘Ali putera dari Abu Talib dan Fatimah al-Zahra puteri dari Rasul Muhammad s.a.w.

Mengenai surat Annajm 39

Al hafidz Al Imam Jalaluddin Assuyuthi, selain beliau pakar hadits, beliau juga pakar tafsir al quran, di kitab Syarhusshudur nya di permulaan bab qiro'atul qur'an lilmayyit au alal qubri. Beliau sudah menjawab pertanyaan anda,

Allah bertempat di Arsy / Atas Langit ?

Al imam albayhaqi (w. 458 H) dalam kitabnya al asma wa ashifat, hlm 506, mengatakan " Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi allah adalah mengambil dari sabda rasul " engkaulah adzdzahir (yang segala sesuatu menunjukkan ada Nya), tidak ada sesuatu di atas Mu dan engkaulah al bathin (yang tidak dapat dibayangkan ) tidak ada sesuatu di bawahMU (H. R muslim dan lainya ) jika tidak ada sesuatu di atasNYA dan di bawahNYA berarti Dia tidak bertempat ".

Pujian Kepada Nabi SAW

Kutinggalkan sunnah Nabi yang sepanjang malam.
Beribadah hingga kedua kakinya bengkak dan keram. 

Nabi yang karena lapar mengikat pusarnya dengan batu.
Dan dengan batu mengganjal Perutnya yang halus itu. Kendati gunung emas menjulang menawarkan dirinya.
la tolak permintaan itu dengan perasaan bangga.

Membela Pancasila, NU Dituduh Kafir

Salah satu inspirasi lahirnya NU adalah semangat kebangkitan Nasional. NU bercita-cita membangun sebuah bangsa dan negara yang merdeka. Bersama kekuatan yang lain, NU berjuang dan merumuskan berbagai landasan berdirinya negeri ini. NU ikut merumuskan Pancasila dan UUD 1945.

Dalil Yang Dipakai Wahhabi Untuk Melarang Dzikir Berjama'ah

Mari kita pelajari salah satu dalil khusus yang sering dijadikan senjata oleh Wahhabi dalam melarang Dzikir Berjama'ah. Dalil yang menyebutkan larangan berzikir berjamaah atau menghitung bacaan zikir dengan batu atau biji tasbih, adalah perkataan Abdullah bin Mas'ud Ra. yang diriwayatkan oleh ad-Darimi. Dalil ini tampaknya sering digunakan oleh kaum Salafi & Wahabi untuk mengharamkan kegiatan tahlilan dan zikir berjama'ah serta melabelkan padanya tuduhan bid'ah. 

Mari kita lihat riwayat tersebut, sebagaimana tercantum di dalam buku Ensiklopedia Bid'ah halaman 86, lengkapnya sebagai berikut: 

Dari 'Amr bin Yahya, dia berkata, "Aku mendengar ayahku menceritakan dari bapaknya, dia berkata, 'Kami pernah duduk-duduk di pintu (rumah) Abdullah bin Mas'ud sebelum shalat shubuh -(biasanya bila dia keluar dari rumahnya) kami pun peri bersamanya ke masjid. Tiba-tiba datang Abu Musa al-Asy'ari Ra. Dan berkata, 'Adakah Abu Abdurrahman (Abdullah bin Mas'ud) telah keluar pada kalian?' Kami menjawab, 'Belum.' Lalu dia pun duduk bersama kami sampai akhirnya Abdullah bin Mas'ud keluar. Setelah dia keluar, kami berdiri menemuinya dan Abu Musa al-Asy'ari berkata, 'Wahai Abu Abdurrahman, tadi aku melihat di masjid suatu perkara yang aku mengingkarinya, dan alhamdulillah aku tidak melihatnya kecuali kebaikan. Dia bertanya, 'Apa itu?' Abu Musa menjawab, ' Bila kau masih hidup niscaya kau akan melihatnya sendiri.' Abu Musa lalu berkata, 'Aku melihat di masjid beberapa kelompok orang yang duduk membentuk lingkaran (halaqah) sambil menunggu (waktu) shalat. Dalam setiap lingkaran itu ada seseorang yang memimpin dan di tangan mereka ada batu-batu kecil, laki-laki itu berkata, 'Bacalah takbir 100 kali,' mereka pun bertakbir 100 kali, kemudian ia berkata lagi, 'Bacalah tahlil 100 kali', mereka pun bertahlil 100 kali, kemudian ia berkata lagi, 'Bacalah tasbih 100 kali', mereka pun bertasbih 100 kali. 

Abdullah bin Mas'ud bertanya, 'Apa yang kamu katakan pada mereka?' Abu Musa menjawab, 'Aku tidak akan mengatakan apa pun pada mereka, karena aku menunggu pendapatmu atau menunggu perintahmu!' Abdullah bin Mas'ud menjawab, 'Tidakkah kamu katakan pada mereka untuk menghitung kesalahan-kesalahan mereka, dan kau beri jaminan bagi mereka bahwa tidak ada sedikit pun dari kebaikan mereka yang akan hilang begitu saja?' Kemudian dia pergi dan kami pun ikut bersamanya, hingga tiba di salah satu kelompok dari kelompok-kelompok (yang ada di masjid) dan berdiri di hadapan mereka, lalu berkata, 'Apa yang kalian sedang kerjakan?' Mereka menjawab, 'Wahai Abu Abdurrahman, (ini adalah) batu-batu kecil yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil, tasbih, dan tahmid.' Abdullah bin Mas'ud berkata, 'Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian. Aku akan menjamin bahwa tidak ada sedikit pun dari kebaikan-kebaikan kalian yang akan hilang begitu saja. Celaka kalian wahai umat Muhammad, alangkah cepatnya kebinasaan kalian. Lihat sahabat-sahabat Nabi Saw., masih banyak baju-baju mereka yang belum rusak dan bejana-bejana mereka belum pecah. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh (apakah) kalian ini ada pada ajaran yang lebih baik dari ajaran Muhammad ataukah kalian sedang membuka pintu kesesatan.' 

Mereka menjawab, 'Demi Allah wahai Abu Abdurrahman, kami tidak menginginkan kecuali kebaikan.' Abdullah bin Mas'ud berkata, 'Berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi dia tidak dapat meraihnya, sesungguhnya Rasulullah Saw. Bersabda kepada kami bahwa ada sekelompok orang yang membaca al-Qur'an tapi hanya sebatas kerongkongan mereka saja. Demi Allah, aku tidak tahu, barangkali sebagian besar mereka itu dari kalian-kalian ini.' Kemudian dia pergi. Amr bin Salamah berkata, 'Kami lihat sebagian besar mereka memerangi kita pada perang Nahrawan bersama dengan kelompok Khawarij." (Hadis ini diriwayatkan oleh ad-Darimi). 

>> Riwayat tersebut sepertinya dianggap mewakili dalil khusus yang jelas-jelas melarang zikir berjama'ah, atau melarang menghitung zikir dengan batu atau biji tasbih. Akan tetapi, memanfaatkan riwayat ini untuk menetapkan pelarangan tersebut atau untuk memvonis bid'ah amalan berzikir berjama'ah atau menghitung zikir dengan batu atau biji tasbih, tidak dapat dibenarkan, dengan alasan: 

1. Bertentangan dengan hadis Rasulullah Saw., "Tidaklah suatu kaum duduk di suatu majlis, berzikir kepada Allah di tempat itu, melainkan malaikat telah menaungi mereka, rahmat meliputi mereka, ketentraman turun kepada mereka, dan Allah menyebut mereka pada kelompok makhluk yang ada di sisi-Nya (yaitu para malaikat dan para nabi-red)." (Hadis Shahih riwayat Muslim, Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Dawud, Ibnu Hibban, Ibnu Abi Syaibah, dan lain-lain). Abdullah bin Mas'ud Ra. Tidak mungkin tidak mengetahui hadis seperti ini, dan banyak lagi hadis-hadis lain yang senada dengan ini. 

2. Tentang menghitung jumlah zikir, Rasulullah Saw. juga banyak menyebut dalam hadis-hadis beliau, seperti: Bacaan subhanallah, alhamdulillah, Allahu Akbar, yang masing-masing dibaca 33 kali, atau tentang keutamaan bacaan subhanallah wabihamdihi sebanyak 100 kali dalam satu hari, atau tentang bacaan laa ilaha illallaahu wahdahu laa syariika lahu lahul-mulku walahul-hamdu yuhyii wayumiitu wahuwa 'ala kulli syai'in Qadiir sebanyak 100 kali, atau tentang permohonan ampun beliau dalam sehari 100 kali, dan lain sebagainya. Hadis-hadis tersebut menunjukkan dengan jelas legalitas menghitung jumlah bacaan zikir. 

3. Rasulullah Saw. tidak pernah melarang shahabat untuk menghitung zikir dengan batu atau yang lainnya, bahkan diriwayatkan beberapa shahabat seperti Abu Darda' Ra. dan Abu Hurairah Ra. memiliki sekantung batu kerikil atau biji kurma yang biasa digunakan untuk berzikir (lihat az-Zuhd, Abu 'Ashim, juz 1 hal. 141, Musnad Ahmad, juz 2 hal. 540, Sunan Abu Dawud, juz 2 hal. 253, Hilyatul Awliya', juz 1 hal. 383, dan lain-lain). 

4. Riwayat tentang Abdullah bin Mas'ud Ra. di atas memiliki kelemahan pada sanad (jalur periwayat)nya, di mana terdapat 'Amr bin Yahya bin 'Amr bin Salamah yang dianggap lemah periwayatannya oleh Yahya bin Ma'in dan Ibnu 'Adi. 

5. Riwayat tersebut tidak menunjukkan perkataan/sabda Rasulullah Saw., melainkan perkataan pribadi Abdullah bin Mas'ud Ra. (atsar shahabat), dengan kata lain merupakan qaul shahabi (perkataan shahabat) atau madzhab shahabi (pendapat shahabat). Jumhur (mayoritas) ulama ushul menganggap bahwa qaul shahabi atau madzhab shahabi tidak termasuk hujjah (argumen yang diakui) dalam menetapkan hukum kecuali bila sejalan dengan hadis Rasulullah Saw., karena para shahabat juga biasa berbeda pendapat satu sama lain (lihat Ushul al-Fiqh al-Islami, DR. Wahbah Zuhaili, juz 2, hal. 150-156), lihatlah pendapat Abu Musa al-Asy'ari pertama kali pada riwayat di atas saat ia berkata, "alhamdulillah aku tidak melihatnya kecuali kebaikan" . Bagaimana mungkin Abdullah bin Mas'ud tidak dapat melihat kebaikan yang dikatakan oleh Abu Musa al-Asy'ari tentang halaqah zikir di masjid itu, sementara pada riwayat lain Abdullah bin Mas'ud pernah berkata: "… apa yang dipandang baik oleh orang-orang muslim, maka dia adalah baik menurut Allah" (Riwayat Ahmad).Sungguh ini merupakan kejanggalan, apalagi, ternyata riwayat di atas banyak bertentangan dengan hadis-hadis Rasulullah Saw., maka amat sangat tidak sah untuk dijadikan dalil melarang zikir berjama'ah atau menghitung jumlah zikir, atau bahkan dijadikan dalil untuk melarang kegiatan tahlilan. 

6. Seandainya pun riwayat tersebut dianggap benar, maka sesungguhnya Abdullah bin Mas'ud Ra. sepertinya bukan semata-mata ingin mempermasalahkan zikir berjamaahnya atau menghitung zikirnya, tetapi sepertinya ia tahu betul siapa orang-orang yang berzikir itu, seolah ada isyarat yang ia ketahui jelas bahwa mereka itu adalah orang-orang yang akan menimbulkan masalah di kubu umat Islam. Buktinya, Abdullah bin Mas'ud Ra. langsung mengarahkan tudingan kepada mereka dengan peringatan Rasulullah Saw. tentang akan munculnya " sekelompok orang yang membaca al-Qur'an tapi hanya sebatas kerongkongan mereka saja " , yang disinyalir oleh para ulama sebagai kelompok khawarij. Dan hal itu dibenarkan dengan pernyataan si periwayat yang bernama 'Amr bin Salamah, 'Kami lihat sebagian besar mereka memerangi kita pada perang Nahrawan bersama dengan kelompok Khawarij."

Nyatalah bahwa kaum Salafi & Wahabi memang memiliki dalil-dalil khusus untuk memvonis bid'ah meskipun sangat sedikit jumlahnya, tetapi tidak dapat dianggap sah karena ternyata dalil-dalil tersebut entah memiliki kelemahan, entah disalahpahami, maupun dipahami secara harfiyah saja tanpa mengkonfirmasikan dengan dalil-dalil lain yang berlawanan. Akibatnya, "larangan" yang ada pada dalil-dalil tersebut langsung saja diindikasikan maknanya dengan hukum haram atau terlarang. Padahal para ulama sudah membahas bahwa "larangan" tidak selalu berarti haram, kadang juga bisa makruh, bahkan kadang mubah karena kemutlakan larangannya dibatalkan oleh dalil lain. Contohnya, hadis Rasulullah Saw. tentang larangan keras minum sambil berdiri, dibatalkan hukum larangan itu oleh perbuatan Rasulullah Saw. sendiri saat beliau minum sambil berdiri.

Wallahu a'lam

Syaikh Dr Ahmad Nahrawi Abdus Salam Al-Indunisi


Ulama Betawi yang memiliki karya intelektual dan diakui secara luas di dunia Islam sangatlah sedikit. Salah satu yang sedikit itu adalah Syaikh Dr. Ahmad Nahrawi Abdussalam Al-Indunisi. Karya-karyanya antara lain Muhammad fil Qur'an, Mukhtasar al-Bukhari w Muslim, dan Al-Qiraat al-'Ashr. Namun, yang monumental adalah kitab karangannya yang berjudul Al-Imam As-Syafi'i fi Madzabihi al-Qadim wal al-Jadid yang telah diterjemahkan oleh JIC dan diterbitkan bersama penerbit Hikmah pada tahun 2008 dengan judul Ensikiopedia Imam Syafi'i. Kitab ini yang merupakan disertasi beliau dalam meraih gelar Doktor Perbandingan Mazhab Universitas Al-Azhar, Kairo, menurut Prof. Syaikh Abdul Ghani Abdul Khaliq, Guru Besar di universitas tersebut, merupakan karya yang monumental, luar biasa, dan sangat bermanfaat karena membahas semua aspek yang berkaitan dengan Imam Syafi'i. Bahkan menurut Syaikh KH. Saifuddin Amsir, salah seorang Rais Syuriah PB NU dan pengurus MUI Pusat, tidak ada satu karya yang membahas Imam Syafi'i di dunia Islam yang selengkap karya Syaikh Dr. Ahmad Nahrawi Abdus Salam ini. Begitu berbobotnya kitab ini, nyaris tidak ada satu pun penulis tentang mazhab Syafi'i, khususnya di Indonesia, yang tidak menjadikan kitab ini sebagai refrensinya.

Namun, siapakah beliau? Nama lengkapnya adalah Ahmad Nahrawi Abdus Salam, lahir di Jakarta 30 Agustus 1931. Sedangkan nama Al-Indunisi adalah tambahan ketika beliau di Mesir yang menunjukkan bahwa beliau berasal dari Indonesia. Beliau adalah cucu dari Guru Mughni Kuningan, Jakarta Selatan dari jalur ibu, salah seorang dari enam guru Betawi yang terkemuka (the six teachers). Menurut penuturan putrinya, Amirah Le., semasa kecil, pendidikan formal pertama kali yang beliau tempuh adalah Taman Kanak-Kanak Belanda. Setelah itu, atas saran kakeknya, Guru Mughni, beliau kemudian meneruskan pendidikannya Jamiatul Khair, Tanah Abang, Jakarta sampai tingkat SLTA. Selain itu, beliau juga mengaji kepada KH. Abdullah Suhaimi, bapak dari KH. Abdul Adzim Abdullah Suhaimi, MA, ulama Betawi dari Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.

Pencarian ilmu pengetahuan ke Mesir dimulai pada usianya yang ke-21 tahun, tepatnya pada Oktober 1952, yaitu ketika beliau pergi haji bersama kedua orang tuanya. Setelah melaksanakan ibadah haji, beliau tidak kembali ke tanah air. Beliau mengurus visa di Arab Saudi untuk pergi belajar di Mesir. Di negeri kaya peradaban itu, beliau meraih sejumlah gelar kesarjanaan. Gelar B.A diraih tahun 1956 dari Fakultas Syari'ah Universitas AI-Azhar, Kairo. Kemudian dua gelar M.A diraihnya pada universitas yang sarna, yakni M.A jurusan kehakiman (1958) dan M.A jurusan Pengajaran dan Pendidikan (1960). Pada tahun 1961, beliau mendapat gelar Diploma I jurusan Hukum, selanjutnya Diploma II diraihnya pada tahun 1962, keduanya diperoleh di Akademi Tinggi Liga Arab, Kairo. Kedua Diploma tersebut setara dengan M.A. Perjalanan studinya terus berlanjut. Pada tahun 1966, beliau mendapat M.A Personal Statute dan Perbandingan Mazhab dati Universitas AI-Azhar, Kairo. Minatnya yang tinggi terhadap disiplin ilmu tersebut diteruskan dengan meraih gelar Doktor dalam bidang Perbandingan Mazhab dari Fakultas Syari'ah dan Hukum, Universitas AI-Azhar, Kairo.

Sejumlah aktivitas keorganisasian pemah dijalaninya.


Pada tahun 1950, beliau mendirikan Ikatan Pelajar Indonesia Hijaz (IPIH), dan menjadi ketuanya sampai tahun 1952. Pada tahun 1953, beliau mendirikan Organisasi Pelajar Indonesia di Mesir (PIM) yang kemudian diganti menjadi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) dan menjadi ketuanya sampai awal tahun 1960-an. Kemudian pada tahun 1970, mendirikan PPI di Damaskus, Syiria, sekaligus menjadi ketuanya dalam beberapa tahun kepengurusan.

Perjalanan karir beliau, antara lain, adalah menjadi penyiar dan penerjemah pada Radio Mesir seksi siaran Bahasa Indonesia (1954 sampai dengan 1970). Pada tahun 1958 sampai dengan tahun 1968, belaiu menjadi guru bahasa Indonesia pada Akademi Bimbingan dan Kader AI-Azhar Cabang Universitas AI-Azhar untuk luar negeri. Beliau juga pemah menjadi dosen bahasa Indonesia pada Fakultas Bahasa Indonesia Cabang Univeritas 'Ain Syamas, Kairo. Pada tahun 1970 sampai dengan tahun 1974, beliau menjadi pegawai lokal KBRI Damaskus dan memegang jabatan sebagai Wakil Pimpinan Redaksi Majalah Indonesia dalam bahasa Arab yang diterbitkan oleh KBRI. Beliau juga pernah menjadi penyiar dan penerjemah Radio Saudi Arabia seksi Bahasa Indonesia di Jeddah dari tahun 1974 sampai tahun 1988.

Pada tahun akhir tahun 1989, beliau pulang ke tanah air, Jakarta, tempat terakhir pengabdian dirinya sampai akhir hayat. Di Jakarta, beliau mendirikan Yayasan An-Nahrawi yang diantaranya bergerak di bidang pencetakan kitab-kitab beliau, seperti kitab Muhammad fi Qur'an dan lainnya. Namun, yayasan ini belum aktif lagi setelah beliau wafat. Seperti ulama Betawi lainnya, selama di Jakarta Beliau mengajar juga di beberapa majelis taklim di berbagai masjid, diantaranya di Masjid AI-Munawar, Pancoran, Jakarta Selatan yang dekat dengan rumahnya, Masjid Agung At-Tin, Masjid Istiqlal dan di Majelis Albahhsy waftahqiq As-salam yang mengkaji tentang fiqh Imam Syafi'i yang kini diteruskan oleh KH. Ahmad Kazruni Ishak Selain mengajar di majelis taklim, beliau juga pernah menjadi dosen di Fakultas Syari'ah lAIN (kini UIN) Ciputat. Dikarenakan jarak yang jauh dari tempat tinggal dan kesibukan lainnya, beliau hanya sempat mengajar di lAIN tersebut hanya satu semester. Meskipun mengajar di majelis taklim, beliau jarang disebut Kiyai. Bahkan lebih sering dipanggil doktor saja atau sering dipanggil syaikh. Sebagaimana budayawan Betawi H Ridwan Saidi tidak menyebutnya kyai ketika mengisahkannya di buku Orang Betawi dan Modernisasi Jakarta. Selain mengajar, beliau juga tercatat sebagai pengurus di Majelis Ulama Indonesia Pusat, yaitu di Komisi Fatwa dan Hukum, bahkan pernah menjabat sebagai Ketua Lembaga Pengkajian Obat Makanan (LP-POM) MUI Pusat, dan salah seorang ketua MUI Pusat.

Pada tanggal 21 Syawal atau 7 Februari 1999, masyarakat Betawi dan umat Islam di Indonesia kehilangan salah satu ulama terbaiknya. Syaikh Dr. Ahmad Nahrawi Abdussalam Al-Indunisi pada tanggal tersebut, di usia 68 tahun, wafat dengan meninggalkan karya yang begitu berharga bagi umat Islam. Beliau dimakamkan di pemakan keluarga di Pedurenan (Belakang JMC, Jakarta Selatan.

Sumber: Rakhmad Zailani Kiki (ghoniyun.blogspot.com)

Wednesday, December 15, 2010

WIRID dan WARID

SESUNGGUHNYA WIRID MENDATANGKAN KEPADA KAMU WARID SUPAYA KAMU MENDEKAT DAN MASUK KE HADRAT ALLAH S.W.T. 

WIRID MENDATANGKAN KEPADA KAMU WARID SUPAYA KAMU TERSELAMAT DARI KEKUASAAN DEBU-DEBU DUNIA DAN SUPAYA KAMU MERDEKA DARI PERBUDAKAN MATA BENDA DAN SYAHWAT KEDUNIAAN. 

Aurad atau wirid adalah amal ibadat yang dilakukan secara berterusan menurut satu pola yang tertentu. Orang yang mengamalkan wirid akan melakukan jenis ibadat yang serupa pada tiap-tiap hari. Jika satu-satu amalannya tidak dapat dilakukannya pada masa yang biasa dia melakukannya kerana sesuatu halangan yang tidak dapat dielakkannya, maka dia akan melakukan amalan yang tertinggal itu pada masa lain. Apabila seseorang sudah beramal secara demikian dengan teguh, maka dia dikatakan beramal secara aurad atau wirid. Amal ibadat yang dilakukan dengan banyak hanya pada hari-hari tertentu dan tidak dilakukan dengan banyak pada hari-hari lain tidak dinamakan wirid. 

Wirid yang terbaik adalah yang menggabungkan sembahyang, puasa dan zikir, seperti yang diamalkan oleh Rasulullah s.a.w semasa hidup baginda s.a.w. Wirid yang diamalkan oleh Rasulullah s.a.w diikuti oleh para sahabat. Dari para sahabat amalan ini berkembang kepada generasi-generasi kemudian hinggalah ke hari ini. Guru-guru yang arif kemudiannya menyusun wirid-wirid yang boleh diamalkan oleh murid-murid mereka mengikut darjat rohani mereka. Murid yang tekun mengamalkan wirid yang ditalkinkan oleh gurunya berkemungkinan didatangi oleh warid.
Orang yang hatinya didatangi warid akan mengalami perubahan yang luar biasa. Jiwanya akan berasa tenang dan fikirannya tidak lagi kusut-masai. Dia dapat merasakan kelazatan beribadat dan berzikir. Warid yang masuk ke dalam hati menghancurkan sifat-sifat yang keji dan melahirkan sifat-sifat yang terpuji. 

Warid yang diterima oleh hati melahirkan beberapa jenis perasaan. Hati mungkin berasa gembira dan mungkin juga berasa sayu bila menerima kedatangan warid. Warid dalam suasana gembira adalah tajalli Allah s.w.t kepada hamba-Nya dengan sifat Jamal (keindahan). Warid yang melahirkan rasa sedih dan kecut hati adalah tajalli Allah s.w.t dengan sifat Jalal (kebesaran). Orang yang mengalami suasana sifat keindahan Allah s.w.t akan merasai kedamaian, ketenangan, keseronokan, kelazatan dan sangat membahagiakan. Pengalaman rohani tersebut membuatnya mengenali Allah s.w.t sebagai Tuhan Yang Maha Pemurah, Maha Penyayang, Maha Lemah-lembut, Maha Pengampun dan sifat-sifat lain yang menyenangkan. Apabila hati rohani mengalami sifat-sifat keagungan dan keperkasaan Allah s.w.t maka akan terasa kecut hatinya, menggeletar tubuhnya dan mungkin dia jatuh pengsan. Pengalaman begini membuatnya mengenali Allah s.w.t sebagai Tuhan Yang Maha Perkasa, Maha Keras, Maha Tegas, Maha Hebat seksaan-Nya dan tidak ada sesuatu yang terlepas dari genggaman-Nya. 

Pengalaman warid adalah umpama Mikraj (tangga) untuk mencapai Allah s.w.t. Warid peringkat pertama menggerakkan hati supaya rajin beribadat dan mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Warid peringkat kedua memutuskan si hamba dari pergantungan kepada makhluk dan membulatkan semangatnya untuk berpegang kepada Allah s.w.t semata-mata. Warid peringkat ke tiga melepaskan si hamba dari sifat-sifat kemanusiaan dan seterusnya bebas dari kewujudan yang terbatas lalu masuk kepada Wujud Mutlak yang tiada batas. Kesedarannya tidak ada lagi pada dirinya dan alam maujud seluruhnya, yang ada hanya Allah s.w.t Yang Maha Esa lagi Maha Berdiri Dengan Sendiri. 

Ulama-ulama Indonesia Di Haramain: Embrio NU di Indonesia

oleh al-Habib Luthfi bin Yahya

Banyak diantara kita yang kepaten obor, kehilangan sejarah, terutama generasi-generasi muda. Hal itupun tidak bisa disalahkan, sebab orang tua-orang tua kita, -sebagian jarang memberi tahu apa dan bagaimana sebenarnya Nahdlitul Ulama itu.

Karena pengertian-pengertian mulai dari sejarah bagaimana berdirinya NU, bagaimana perjuangan-perjuangan yang telah dilakukan NU, bagaimana asal usul atau awal mulanya Mbah Kiai Hasyim Asyâ’ari mendirikan NU dan mengapa Ahlus sunah wal jamaah harus diberi wadah di Indonesia ini.

Dibentuknya NU sebagai wadah Ahlu Sunah bukan semata-mata KH Hasyim Asyâ’ari ingin ber-inovasi, tapi memang kondisi pada waktu itu sudah sampai pada kondisi dloruri, wajib mendirikan sebuah wadah. Kesimpulan bahwa membentuk sebuah wadah Ahlus Sunah di Indonesia menjadi satu keharusan, merupakan buah dari pengalaman ulama-ulama Ahlu Sunah, terutama pada rentang waktu pada tahun 1200 H sampai 1350 H.

Pada kurun itu ulama Indonesia sangat mewarnai, dan perannya dalam menyemarakan kegiatan ilmiyah di Masjidil Haram tidak kecil. Misal diantaranya ada seorang ulama yang sangat terkenal, tidak satu pun muridnya yang tidak menjadi ulama terkenal, ulama-ulama yang sangat tabahur fi ilmi Syari’ah, fi thoriqoh wa fi ilmi tasawuf, ilmunya sangat melaut mendalam dan luas dalam syari’ah, thoriqoh dan ilmu tasawuf. Dintaranya dari Sambas, Syekh Ahmad bin Abdu Somad Sambas. Murid-murid beliau banyak yang menjadi ulama-ulama besar seperti Kyai Tholhah Gunung jati Cirebon.

Kiai Tholhah ini adalah kakek dari Kiai Syarif Wonopringgo, Pekalongan. Muridnya yang lain, Kiai Syarifudin bin Kiai Zaenal Abidin Bin Kiai Muhammad Tholhah. Beliau diberi umur panjang, usianya seratus tahun lebih. Adik seperguruan beliau diantaranya Kiai Ahmad Kholil Bangkalan. Kiai kholil lahir pada tahun 1227 H. Dan diantaranya murid-murid Syeh Ahmad sambas yaitu Syekh Abdul Qodir Al Bantan, yang menurunkan anak murid, yaitu Syekh Abdul Aziz Cibeber Kiai Asnawi Banten. Ulama lain yang sangat terkenal sebagai ulama ternama di Masjidil Harom adalah Kiai Nawawi al Bantani.

Beliau lahir pada tahun 1230 H dan meninggal pada tahun 1310 H, bertepatan dengan meninggalnya mufti besar Sayid Ahmad Zaini Dahlan. Ulama Indonesia yang lainnya yang berkiprah di Masjidil Harom adalah Sayid Ahmad an Nahrowi Al Banyumasi, beliau diberi umur panjang, beliau meninggal pada usia 125. Tidak satupun pengarang kitab di Haromain; Mekah-Madinah, terutama ulama-ulama yang berasal dari Indonesia yang berani mencetak kitabnya, sebelum ada pengesahan dari Sayidi Ahmad an Nahrowi Al Banyumasi.

Syekh Abdul Qadir Al Bantani, murid lain Syekh Ahmad bin Abdu Somad Sambas, yang mempunyai murid Kiai Abdul Latif Cibeber dan Kiai Asnawi Banten. Adapun ulama-alama yang lain yang ilmunya luar biasa adalah Sayidi Syekh Ubaidillah Surabaya, beliau melahirkan ulama yang luar biasa yaitu Kiai Ubaidah Giren Tegal, terkenal sebagai Imam Asyâ’ari-nya Indonesia.

Dan melahirkan seorang ulama, auliya besar, Sayidi Syekh Muhammad Ilyas Sukaraja. Guru dari guru saya Sayidi Syekh Muhamad Abdul Malik. Yang mengajak Syekh Muhammad Ilyas muqim (menetap) di Haromain (Mekkah – Madinah) yang mengajak adalah Kiai Ubaidah tersebut, di Jabal Abil Gubais, di Syekh Sulaiman Zuhdi. Diantaranya murid-muridnya lagi di Mekkah Sayidi Syekh Abdullah Tegal. Lalu Sayidi Syekh Abdullah Wahab Rohan Medan, Sayid Syekh Abdullah Batangpau, Sayyidi syekh Muhammad Ilyas Sukaraja, Sayyidi Syekh Abdul Aziz bin Abdu Somad al Bimawi, dan Sayidi Syekh Abdullah dan Sayidi Syekh Abdul Manan, tokoh pendiri Termas sebelum Kiai Mahfudz dan sebelum Kiai Dimyati.

Dijaman Sayidi Syekh Ahmad Khatib Sambas ataupun Sayidi Syekh Sulaiman Zuhdi, murid yang terakhir adalah Sayidi Syekh Ahmad Abdul Hadi Giri Kusumo daerah Mranggen. Inilah ulama-ulama indonesia diantara tahun 1200 H sampai tahun 1350. Termasuk Syekh Baqir Zaenal Abidin jogja, Kyai Idris Jamsaren, dan banyak tokoh-tokoh pada waktu itu yang di Haromain. Seharusnya kita bangga dari warga keturunan bangsa kita cukup mewarnai di Haromain (Mekkah-Madinah), beliau-beliau memegang peranan yang luar biasa. Salah satunya guru saya sendiri Sayyidi Syekh Muhammad Abdul Malik (Purwokerto) yang pernah tinggal di Haromain dan mengajar di Masjidil Haram, khusus ilmu tafsir dan hadits selama 35 tahun.

Beliau adalah muridnya Syekh Mahfudz Al Turmidzi. Mengapa saya ceritakan yang demikian, kita harus mengenal ulama-ulama kita dahulu yang menjadi mata rantai berdirinya NU, istilahnya kalau dalam hadits itu betul-betul tahu sanadnya, bukan hanya katanya-katanya saja, jadi kita harus tahu dari mana saja ajaran Ahli Sunah Wal Jamaah yang diambil oleh Syekh Hasyim Asy’ari.

Bukan sembarang orang, tapi yang benar-benar orang-orang tabahur ilmunya (mendalam mumpuni ilmunya), dan mempunyai maqomah, kedudukan yang luar biasa. Namun sayang peran penting ulama-ulama Ahlu Sunah di Haromain pada masa itu (pada saat Syarif Husen berkuasa di Hijaz), khususnya ulama yang dari Indonesia tidak mempunyai wadah. Kemudian hal itu di pikirkan oleh kiai Hasyim Asy’ari disamping mempunyai latar belakang dan alasan lain yang sangat kuat sekali.

Menjelang berdirinya NU, beberapa ulama besar kumpul di Masjidil Harom, -ini sudah tidak tertulis dan harus dicari lagi nara sumber-sumbernya, beliau-beliau menyimpulkan sudah sangat mendesak berdirinya wadah bagi tumbuh kembang dan terjaganya ajaran Ahlu Sunah Wal Jamaah. Akhirnya di istikharohi oleh para ulama-ulama Haromain, lalu mengutus Kiai Hasyim Asy’ari untuk pulang ke Indonesia, agar menemui dua orang di Indonesia, kalau dua orang ini mengiakan(menyetujui) jalan terus, kalau tidak, jangan diteruskan. Dua orang tersebut yang pertama al-Habib Hasyim bin Umar Bin Toha Bin Yahya Pekalongan, yang satunya lagi Mbah Kyai Kholil Bangkalan.

Oleh sebab itu tidak heran jika Mukatamar NU yang ke 5 dilaksanakan di Pekalongan tahun 1930 M. Untuk menghormati al-Habib Hasyim yang wafat pada itu. Itu suatu penghormatan yang luar biasa. Tidak heran kalau di Pekalongan sampai dua kali menjadi tuan rumah Muktamar Thoriqoh. Tidak heran karena sudah dari sananya, kok tahu ini semua sumbernya dari mana? Dari seorang yang soleh, Kiai Irfan. Suatu ketika saya duduk-duduk dengan Kiai Irfan, Kiai Abdul Fatah dan Kiai Abdul Hadi. Kiai Irfan bertanya pada saya “kamu ini siapanya Habib Hasyim?”. Yang menjawab pertanyaan itu Kiai Abdul Fatah dan Kiai Abdul Hadi; “ini cucunya Habib Hasyim Yai “.

Akhirnya saya di beri wasiat, katanya; “mumpung saya masih hidup tolong catat sejarah ini. Mbah Kiai Hasyim Asy’ari datang ketempatnya Mbah Kiai Yasin, Kiai Sanusi ikut serta pada waktu itu. Disitu diiringi oleh Kiai Asnawi Kudus, terus diantar datang ke Pekalongan, lalu bersama Kiai Irfan datang ke kediamannya Habib Hasyim. Begitu KH. Hasyim Asy’ari duduk, Habib Hasyim langsung berkata, “Kyai Hasyim Asy’ari, silahkan laksanakan niatmu kalau mau membentuk wadah Ahlu Sunah Wal Jamaah. Saya rela tapi tolong saya jangan ditulis“.

Itu wasiat Habib Hasyim, terus Kyai Hasyim Asy’ari merasa lega dan puas. Kemudin Kiai Hasyim Asy’ari menuju ke tempatnya Mbah Kiai Kholil Bangkalan, kemudian Mbah Kyai kholi bilang sama Kyai Hasyim Asyari “laksanakan apa niatmu saya ridlo seperti ridlonya Habib Hasyim tapi saya juga minta tolong, nama saya jangan ditulis.” Kata Kiai Hasyim Asy’ari “ini bagaimana kyai, kok tidak mau ditulis semua.” Terus mbah Kiai Kholil menjawab kalau mau tulis silahkan tapi sedikit saja. Itu tawadhlu-nya Mbah Kyai Ahmad Kholil Bangkalan. Dan ternyata sejarah tersebut juga dicatat oleh Gus Dur.

Inilah sedikit perjalanan Nahdlotul Ulama. Inilah perjuangan pendiri Nahdlotul ulama. Para pendirinya merupakan tokoh-tokoh ulama yang luar biasa. Makanya hal-hal yang demikian itu tolong ditulis, biar anak-anak kita itu tidak terpengaruh oleh yang tidak-tidak, sebab mereka tidak mengetahui sejarah. Anak-anak kita saat ini banyak yang tidak tahu, apa sih NU itu? Apa sih Ahlu Sunah itu? Lha ini permasalahan kita. Upaya pengenalan itu yang paling mudah dilakukan dengan memasang foto-foto para pendiri NU, khususnya foto Hadhrotus Syekh Kiai Hasyim Asy’ari. (Disampaikan pada Harlah NU di Kota Pekalongan)


sumber: http://sufimuda.wordpress.com/2010/04/25/ulama-ulama-indonesia-di-haramain-embrio-nu-di-indonesia/

Selamat Tinggal Wahabi!

Setelah didoakan Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, hatinya terbuka untuk kembali mengikuti ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah secara utuh tanpa terpengaruh paham Wahabi lagi.

Tengku Mohd Fouzy bin Tengku Mahid Jumat, demikian nama lengkap tokoh ini. Ustadz Fouzy adalah nama yang tak asing lagi bagi muslimin Singapura. Betapa tidak, kegiatan dakwah dan pendidikan Islam di sana banyak yang berkaitan dengan dirinya. Sejak akhir 1980-an hingga kini ia eksis sebagai tokoh yang menyuarakan dakwah Islam berdasarkan paham Ahlussunnah wal Jama’ah di Singapura. Namun untuk sampai pada pilihan itu secara mantap perlu waktu yang tidak sebentar.

Tokoh ini lahir tanggal 8 November 1955 di Singapura, yang juga tempat lahir ayah-ibunya. Ia putra kedua pasangan Tengku Mahid Jumat, yang berasal dari Aceh, dan Hajjah Salmah binti Haji Abdul Halim, berasal dari Melaka. Selain saudara sekandung, ia juga punya empat kakak lain ibu.

Sejak sekolah rendah (SD) hingga sekolah menengah, ia belajar di sekolah negeri. Sambil bersekolah, ia belajar kepada Kiai Kasim dengan mempelajari kitab-kitab Jawi (Arab Melayu), seperti Siyarus-Salikin, Sabilal Muhtadin.

Selepas sekolah menengah, dalam usia sekitar 16 tahun, ia pergi ke India untuk belajar di Madrasah Sabilur-Rasyad, Bangalore, atas rekomendasi dari Jamaah Tabligh, karena sebelumnya aktif di perkumpulan ini.

Ia sebenarnya senang belajar di madrasah yang terletak di kawasan pegunungan ini. Tempatnya bagus dan udaranya pun sejuk. Guru-gurunya para pengikut tasawuf yang akhlaqnya bagus. Sayangnya ia hanya sempat belajar tujuh bulan di sini. Kendalanya adalah faktor bahasa. Untuk mempelajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama ia harus menggunakan bahasa Urdu, sedangkan ia tidak memahami bahasa tersebut. Tentu hal itu menyulitkannya. Tetapi keberadaannya di sana tidak sia-sia, karena selama tujuh bulan itu ia sempat mengikuti pelajaran Tahfizhul Qur’an.

Setelah itu, beberapa pelajar Malaysia menyarankannya untuk belajar di Kedah, Malaysia, di sebuah pondok bernama Mishbahul Falah. Maka pada tahun 1973, dalam usia 17 tahun, ia melangkahkan kaki menuju Kedah, tepatnya di Lanai, sebuah kampung di kawasan Baling, Kedah. Pendiri sekaligus pemimpin ma`had saat itu adalah Syaikh Umar Zuhdi, seorang alim yang sempat belajar selama lima tahun di Makkah. Sekitar dua tahun ia menimba ilmu di sini.

Pada tahun 1975, ibundanya ingin menunaikan ibadah haji dan mengajaknya untuk menemani. Setelah menunaikan haji, ia terus bermukim di sana menuntut ilmu. Selama dua tahun ia dapat mengikuti pengajian para ulama di Masjidil Haram.

Selama di Makkah, Ustadz Fouzy juga belajar di Darul Ulum, madrasah terkenal di sana yang menjadi salah tujuan para penuntut ilmu agama, khususnya yang datang dari Nusantara. Ia pun sempat mengikuti pelajaran di Madrasah Shaulatiyah, sebuah madrasah terkenal pula. Di antaranya gurunya di sini adalah Syaikh `Iwadh Al-Yamani dan Syaikh Ismail Al-Yamani. Kegiatan lainnya, setiap hari Jum’at Ustadz Fouzy bersama beberapa kawannya dan Syaikh Ismail Al-Yamani mendatangi rumah Syaikh Hasan Masysyath untuk mengikuti pengajian kitab Ihya` Ulumiddin.

Demikianlah, antara tahun 1975 hingga 1977, ia belajar di Darul Ulum sekaligus menimba ilmu di luar madrasah kepada para ulama Makkah, di antaranya menghadiri pengajian di halaqah Sayyid Muhammad Al-Maliki, yang ketika itu masih mengajar di Masjidil Haram. Guru-guru lainnya di Makkah adalah Syaikh Muhammad Quthb dari India (bukan Syaikh Muhammad Quthb Mesir), Syaikh Abdul Hamid Jaha, yang berasal dari Indonesia, Syaikh Abdul Karim Banjari, dan Syaikh Ali Cahya, ulama dari Patani, Thailand Selatan.

Setelah selesai jenjang Mutawassith (setingkat Tsanawiyah/SLTP di Indonesia) di Darul Ulum, ia masuk kelas I tingkat Tsanawiyah (setingkat Aliyah/SLTA di Indonesia). Tapi kemudian ia direkomendasikan oleh Ar-Rabithah Al-Islamiyyah untuk masuk perguruan tinggi di Madinah, yakni Al-Jami`ah Al-Islamiyyah. Ia pun mengajukan permohonan dan alhamdulillah diterima. Tetapi sebelumnya ia mengikuti dulu tingkat-tingkat persiapan selama empat tahun, yakni satu tahun di kelas persiapan Bahasa Arab dan tiga tahun berikutnya di tingkat tsanawiyah yang berada di bawah universitas ini.

Setelah itu ia langsung masuk Kulliyyatusy-Syari`ah (Fakultas Syariah) dan dapat selesai dalam waktu empat tahun. Pada tingkat I, II, dan III, ia mendapatkan predikat mumtaz (istimewa), sedangkan pada tingkat IV ia meraih jayyid jiddan (sangat baik). Jadi, waktu yang dihabiskannya belajar di Madinah adalah delapan tahun.

Ia kemudian disarankan melanjutkan pendidikannya ke tingkat magister di universitas yang sama. Tapi ia berpikir, tidak boleh berlaku zhalim terhadap diri sendiri. Saat itu ia berada di antara dua pemahaman keagamaan yang berbeda yang membuatnya seperti terombang-ambing. Di satu sisi, dalam waktu yang lama selama belajar di Singapura, Malaysia, dan Makkah, ia mendapatkan didikan para ulama Ahlussunnah, yang berpegang teguh pada paham Asy`ari. Tetapi di sisi lain, ketika belajar di Madinah ia dididik dalam lingkungan yang kental warna Wahabi-nya, yang sedikit banyak mempengaruhi dirinya.

Benar, ataukah Sesat?

Agar adil terhadap dirinya dan tidak terombang-ambing, ia memutuskan untuk mengambil ilmu dari sumber yang lain lagi. Maka setelah pulang ke Singapura tahun 1985, di awal 1986 pergilah ia ke Kairo. Saat itu ia mengajukan permohonan di Universitas Al-Azhar dan Universitas Kairo. Karena lebih dulu diterima di Universitas Kairo, ia pun segera mengikuti pelajaran di sini sambil menunggu diterima di Universitas Al-Azhar. Setelah diterima di Al-Azhar, ia pun pindah ke sana.

Baru sekitar dua minggu belajar di Al-Azhar, ibunya mulai menderita sakit dan memintanya pulang agar bisa menemaninya. Terpaksa ia membatalkan niatnya untuk melanjutkan pelajaran di sana dan langsung kembali ke Singapura.

Di negerinya, mulailah Ustadz Fouzy mengabdikan diri mengajar di samping tetap mendekatkan diri dengan para ulama untuk mengambil manfaat ilmu dan keberkahan dari mereka. Tempat pengabdiannya yang pertama di lembaga pendidikan formal adalah di Madrasah Al-Junaid Al-Islamiyyah, sekolah Islam yang termasyhur di sana. Mulai tahun 1987 ia pun menjadi imam eksekutif di Masjid Darul Aman di Jalan Eunos, Singapura. Yang dimaksud imam eksekutif adalah imam yang bukan hanya memimpin shalat dan ibadah lain, tetapi juga mengelola dakwah secara keseluruhan di masjid itu.

Selama sekitar lima tahun ia juga mengajar di Persatuan Guru-Guru Agama Islam Singapura (Pergas) setiap hari Sabtu dan hari Ahad dengan menyampaikan beberapa materi keagamaan, seperti aqidah, fiqih, tafsir, hadits, akhlaq.

Pada tahun 1990 ia mulai membawa rombongan haji dan umrah ke Tanah Suci di beberapa perusahaan travel yang menggunakan tenaganya sebagai pembimbing. Empat tahun kemudian, 4 Juli 1994, secara resmi ia membuka usaha travel haji dan umrah sendiri yang kini tidak hanya khusus melayani haji dan umrah saja tetapi juga wisata-wisata Islami ke berbagai negeri. Aktivitasnya ini membuatnya terlibat di AMTAS (Association of Muslim Travel Agents Singapore, Asosiasi Agen Perjalanan Muslim Singapura). Ia kini menjabat presidennya untuk periode ketiga secara berturut-turut.

Sejak dua tahun yang lalu ia pun diberi kepercayaan untuk duduk di Lajnah (Lembaga) Majelis Fatwa pada Majelis Ugama Islam Singapura (MUIS). Sebulan sekali majelis ini bersidang membahas persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam Singapura yang hasilnya selalu dibukukan dan disebarluaskan. Masih banyak lagi aktivisnya yang lain, baik di MUIS maupun yang lainnya.

Selain usaha travel, ia juga mendirikan usaha penyembelihan ayam halal pada tahun 1996 yang terus dijalaninya hingga kini. “Sebelumnya yang membuka usaha penyembelihan ayam halal adalah orang-orang non-muslim, sehingga tidak dapat dipastikan kehalalannya. Meskipun tidak banyak menguntungkan, bahkan terkadang membawa kerugian, tetap saya jalani, karena saya pandang sebagai fardhu kifayah,” katanya.

Kesibukannya menangani usaha travel tak membuatnya melalaikan tugas utamanya untuk mengajar dan berdakwah. Ia tetap membuka kelas-kelas pengajian di beberapa masjid di Singapura yang telah dijalaninya sejak lama.

Saat baru kembali ke Singapura, ia sedikit banyak masih membawa gaya dan cara, serta beberapa pemikiran Wahabi yang keras. Ia pun merasa tidak harus terikat dengan madzhab, meskipun tidak anti madzhab. Karena, walaupun lama belajar di lembaga pendidikan yang kuat Wahabi-nya, ia punya bekal ilmu yang didapatnya di pesantren dan dari ulama-ulama Makkah yang sealiran dengan para gurunya di Singapura dan Malaysia. Namun pengaruh Wahabi itu membuatnya longgar dalam berpegang dengan madzhab.

Keadaan demikian, yang seperti terombang-ambing itu, membuatnya tidak nyaman. Maka ketika sedang membawa jama’ah haji atau umrah, di Masjidil Haram ia bermohon kepada Allah agar diberikan petunjuk apakah pemahaman Wahabi itu benar ataukah sesat.

Setelah berdoa, ia pun mengunjungi gurunya, Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki.

Sayyid Muhammad memberikan ijazah kepadanya dan mendoakannya. Dari gurunya ini Ustadz Fouzy mendapatkan ijazah ammah (ijazah umum) dari semua sanad yang dimilikinya.

“Setelah itu hati saya pun terbuka untuk kembali mengikuti ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah secara utuh tanpa terpengaruh lagi paham Wahabi,” katanya. Ia bersyukur karena hingga saat ini dapat mempertahankan aqidah Ahlussunnah dan bermadzhab Syafi`i sebagaimana asalnya.

Kini dengan dibantu para ustadz lain, di antaranya Ustadz Hasan Saifour Rijal, murid dan sekaligus kini menjadi sahabatnya dalam dakwah, ia mencoba menjelaskan kepada kaum muslimin, khususnya di Singapura, ihwal masalah-masalah aqidah yang sangat perlu diketahui umat. Di antaranya mengenai bagaimana sebenarnya pemahaman-pemahaman Wahabi dan bagaimana pandangan-pandangan Ahlussunnah dalam menolaknya.

Sumber: Majalah Alkisah