Wednesday, October 6, 2010

Anak Pondokan

Suara yang menggema pelan diiringi terbenamnya mentari di ujung dunia sebelah barat. Sebuah suasana romantis kami, para pencari Tuhan, dengan sebuah alam kesibukan yang mengasyikkan. Suatu kesempatam emas kami sebagai anak kampung yang sukanya pada hal yang diajarkan orang sepuh untuk kemudian sulit mengulangi kesempatan berharga kami lagi di masa depan.

Mega yang menggulung kemerahan pekat di ufuk barat menghiasi langkah kami untuk menuju sebuah bangunan yang dibanggakan orang sepuh di dusun kami. Sebuah langgar ciut yang berisikan puluhan anak-anak yang mengeksploitasi ilmu agama di Langgar Al Mujahiddin. Semangat anak-anak masa lampau yang sulit dilakukan kami di masa kini.
Sarung berjubel kumuh masih saja benggembol di perut kami, baju lusuh setelah dipakai sekolah pun masih dipakai mengaji. Peci hitam peninggalan orang sepuh kami slalu menempel di kepala ketika maghrib berkumandang. Berbekal satu buku dan satu kitab.
Kami merasakan Semangat 45 bila Pak Kyai telah rawuh. Berderet di paling depan sendiri. Ramai pun kami ditegur oleh senior kami. Bandel kami pun sering kali membuat para senior kesal. Tapi kami bukanlah biangkerok yang membuat suasana keruh saat sholat dilaksanakan.
Sejalan waktu bergilir dan terus saja menggerus zaman.
Terdengar suara merdu dari mulut anak-anak zaman lampau ini, "Bada'tu bibismillah....." ila akhir. Berandai kami memasuki beberapa abad lampau dimana lampu belum ditemukan. Suasana romantis kami, para pencari Tuhan. Setelah mukhafadhoh dilanjutkan nadhoman setiap kelas, terdengar lagi suara keras yang menggelitik namun asyik, "Fa'ala yaf'ulu fa'lan wamaf'alan..." ila akhir.

0 comments:

Post a Comment