Monday, September 13, 2010

Mencontoh Para Salaf Dalam Berlomba-lomba Pahala Lewat Tarawih

Al Imam Ibnu Hajar Al Asqolani menjelaskan Hadits tentang Tarawihnya Khalifah Umar, dalam kitabnya Fathul Bari, beliau menulis :

" Penyempurnaan : Tidak ada penyebutan dalam riwayat ini berapa Rakaat shalat yang dilakukan Ubay Bin Ka'ab, dan para salaf berselisih atas hal ini, di dalam kitab Al Muwatho' dari Muhammad bin Yusuf dari Assaib bin Yazid bahwasanya sholatnya 11 rakaat, dan meriwayatkan Sa'id bin Manshur Dari jalur yang lain dan menambahkan dalam riwayat itu " Mereka para sahabat membaca 200 an ayat dan berpegang pada tongkat karena lamanya berdiri ", dan meriwayatkan Muhammad bin Nashr Al Marwazi dari jalan Muhammad bin Ishaq dari Muhammad bin Yusuf, berkata : 13 rakaat, dan meriwayatkan Abdurrozaq dari jalan yang lain dari Muhammad bin Yusuf, berkata 21 rakaat, dan meriwayatkan Malik dari jalan Yazid bin Khushaifah dari Assa'ib bin yazid 20 rakaat, dan ini di asumsikan selain witir. 

MENGISI KEMERDEKAAN

Keriungan para “tokoh jamaah selasanan” sehabis ngaji kali ini tergolong lengkap. Selain anggota tetap seperti Kang Kimin De-pe-er; Kang Mansur Jagal; Slamet Necis Mangil Aliflammim; Si Dul Usil; dan Modin Rosyan; ada tokoh-tokoh tua: Mbah Daud dan mbah Syukur. Maudlu’ atau topik pembicaraan tentu saja- apalagi kalo tidak- sekitar hari peringatan kemerdekaan.

Sunday, September 12, 2010

`INDONESIA JAYA`


Bangsa kita telah 65 tahun merdeka. Waktu yang cukup lama, agaknya kita perlu merenungkan kembali arti kemerdekaan, agar kita dapat memaknai kembali ucapan terima kasih secara lebih dalam. Kata ini mudah diucapkan, kedua kata ini sama-sama terdiri dari dua susunan kata; terima kasih, matur nuwun, dalam bahasa jawa, tapi tanggung jawab dari dua susunan kata tersebut amat besar dan dalam sekali. Jadi kalau kita ucapkan terima kasih itu terlalu kecil, dibanding jasa-jasa para pendahulu kita.


Perumpamaannya, kita menerima nasi sudah masak, tinggal makan. Oleh sebab itu kita jangan sampai saling berebut. Kasihan yang menanak, kasihan yang mencangkul, kasihan yang mengairi, kasihan yang panen, kasihan yang menjemur, kasihan yang menggiling, kasihan yang bersihkan, kasihan yang masak, kasihan yang menyiapkan. Jadi kalau makan nasi saja, kita sudah berhutang budi pada sekian banyak orang.

Penafsiran Hadits

- Apakah semua hadits butuh syarah/penjelasan dan tidak bisa hanya diambil dhohir lafadznya saja?
- Bagaimanakah hukumnya seseorang yg menjelaskan sebuah hadits hanya berdasarkan akal dan perasaannya dan hadist tersebut ia jadikan untuk mendukung opininya tentang suatu hal?

Mengenang Sayyid Muhammad Ibn Alawi Ibn Abbas Al-Maliki Al-Hasani

Tepat 6 tahun yang lalu, 15 Ramadhan 1425H / 29 Oktober 2004M, umat islam kehilangan salah satu tokohnya, Sayyid Prof. Dr. Muhammad ibn Sayyid ‘Alawi ibn Sayyid ‘Abbas ibn Sayyid ‘Abdul ‘Aziz al-Maliki al-Hasani al-Makki al-Asy’ari asy-Syadzili, Sang Permata Ilmu ini tlah meninggalkan kita untuk menghadap ke Sang Pencipta.

Bagaimana Hukumnya Membaca Manaqib?

Tanya :
Bagaimana hukumnya baca manaqib?

KH. Bisri Musthofa :
Mengertikah saudara arti kata-kata manaqib? Kata-kata manaqib itu adalah bentuk jamak dari mufrod manqobah, yang di antara artinya adalah cerita kebaikan amal dan akhlak perangai terpuji seseorang.


Jadi membaca manaqib, artinya membaca cerita kebaikan amal dan akhlak terpujinya seseorang. Oleh sebab itu kata-kata manaqib hanya khusus bagi orang-orang baik mulia: manaqib Umar bin Khottob, manaqib Ali bin Abi Tholib, manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani, manaqib Sunan Bonang dan lain sebagainya. Tidak boleh dan tidak benar kalau ada orang berkata manaqib Abu Jahal, manaqib DN. Aidit dan lain sebagainya. Kalau demikian artinya pada manaqib, apakah saudara masih tetap menanyakan hukumnya manaqib?

Tanya :
Betul tetapi cerita di dalam manaqib Syeikh Abdul Qodir al-Jilani itu terlalu berlebih-lebihan, sehingga tidak masuk akal. Misalkan umpamanya kantong berisi dinar diperas lalu keluar menjadi darah, tulang-tulang ayam yang berserakan, diperintah berdiri lalu bisa berdiri menjadi ayam jantan.

KH. Bisri Musthofa :
Kalau saudara melanjutkan cerita-cerita yang tidak masuk akal, sebaiknya jangan hanya berhenti sampai ceritanya Syeikh Abdul Qodir al-Jilani saja, tetapi teruskanlah. Misalnya cerita tentang sahabat Umar bn Khottob berkirim surat kepada sungai Nil, Sahabat umar bin Khottob memberi komando dari Madinah kepada prajurut-prajurit yang sedang bertempur di tempat yang jauh dari Madinah. Cerita tentang Isra’ Mi’raj, cerita tentang tongkat menjadi ular, cerita gunung yang pecah, kemudian keluar dari unta yang besar dan sedang bunting tua, cerita tentang nabi Allah Isa menghidupkan orang yang sudah mati. Dan masih banyak lagi yang semuanya itu sama sekali tidak masuk akal.

Tanya :
Kalau keluar dari Nabi Allah itu sudah memang mukjizat, padahal Abdul Qodir al-Jilani itu bukan Nabi, apa bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal?

KH. Bisri Musthofa :
Baik Nabi Allah maupun Syeikh Abdul Qodir al-Jilani atau sahabat Umar bin Khottob, kesemuanya itu masing-masing tidak bisa menimbulkan hal-hal yang tidak masuk akal. Tetapi kalau Allah Ta’ala membisakan itu, apakah saudara tidak dapat menghalang-halangi?

Tanya :
Apakah selain Nabi Allah juga mempunyai mukjizat?

KH. Bisri Musthofa :
Hal-hal yang menyimpang dari adat itu kalau keluar dari Nabi Allah maka namanya mukjizat, dan kalau timbul dari wali Allah namanya karomah.

Tanya :
Adakah dalil yang menunjukkan bahwa selain nabi Allah dapat dibisakan menimbulkan hal-hal yang menyimpang dari adat atau tidak masuk akal?

KH. Bisri Musthofa :
Silahkan saudara membaca cerita dalam Al-Quran tentang sahabat Nabi Allah Sulaiman yang dapat dibisakan memindah Arsy Balqis (QS An-Naml: 40)

Tanya :
Tetapi di dalam manaqib Abdul Qodir al-Jilani ada juga kata-kata memanggil kepada para roh yang suci atau kepada wali-wali yang sudah mati untuk dimintai pertolongan, apakah itu tidak menjadikan musyrik?

KH. Bisri Musthofa :
Memanggil-manggil untuk dimintai pertolongan baik kepada wali yang sudah mati atau kepada bapak ibu saudara yang masih hidup dengan penuh i’tikad bahwa pribadi wali atau pribadi bapak ibu saudara itu mempunyai kekuasaan untuk dapat memberikan pertolongan yang terlepas dari kekuasaan Allah Ta’ala itu hukumnya syirik.

Akan tetapi kalau dengan i’tikad bahwa segala sesuatu adalah dari Allah Ta’ala, maka itu tidak ada halangannya, apalagi sudah jelas bahwa kita meminta pertolongan (ghouts) kepada para wali itu maksudnya adalah minta dimohonkan kepada Allah Ta’ala.

Tanya :
Manakah yang lebih baik, berdoa kepada Allah Ta’ala dengan langsung atau dengan perantaraan (tawassul)?

KH. Bisri Musthofa :
Langsung boleh, dengan perantaraan pun boleh. Sebab Allah Ta’ala itu Maha Mengetahui dan Maha Mendengar. Saudara jangan mengira bahwa tawassul kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau wali itu, sama dengan saudara memohon kenaikan pangkat kepada atasan dengan perantaraan Kepala Kantor saudara.

Pengertian tawassul yang demikian itu tidak benar. Sebab berarti mengalihkan pandangan terhadap yang ditujukan (pihak atasan), beralih kepada pihak perantara, sehingga disamping mempunyai kepercayaan terhadap kekuasaan pihak atasan, saudara juga percaya kepada kekuasaan pihak perantara. Tawassul kepada Allah Ta’ala tidak seperti itu.

Kalau saudara ingin contoh tawassul kepada Allah Ta’ala melalui Nabi-Nabi atau Wali-Wali itu, seperti orang yang sedang membaca al Quran dengan memakai kacamata. Orang itu tetap memandang al Quran dan tidak dapat dikatakan melihat kaca.

Tanya :
Bukankah Allah ta’ala berfirman dalam al Quran al Karim

Panggillah aku maka akan Aku sambut kepadamu. (Al Mukmin: 60)

Maka sambutlah olehmu akan Allah ta’ala dengan memurnikan kepadanya akan agama. (Al Mukmin: 24)

Dan orang-orang yang tidak menyambut bersama Allah akan tuhan yang lain. (Al Furqon: 68)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat serupa itu.

KH. Bisri Musthofa :
Betul akan tetapi kesemuanya itu sama sekali tidak melarang tawassul dengan pengertian sebagaimana yang telah saya terangkan tadi. Coba saja perhatikan contoh di bawah ini:

Saudara mempunyai majikan yang kaya raya mempunyai perusahaan besar, saudara sudah kenal baik dengan beliau, bahkan termasuk buruh yang dekat dengannya. Saya ingin diterima bekerja di perusahaannya. Untuk melamar pekerjaan itu, saudara saya ajak menghadap kepadanya bersama-sama, dan saya berkata, “Bapak pimpinan perusahaan yang mulia. Kedatangan saya bersama guru saya ini, ada maksud yang ingin saya sampaikan, yaitu saya mohon diterima menjadi pekerja di perusahaan bapak. Saya ajak guru saya menghadap bapak karena saya pandang guru saya ini adalah orang yang baik hati dan jujur serta juga kenal baik dengan bapak”. Coba perhatikan! kepada siapa saya memohon? Kemudian adakah gunanya saya mengajak saudara menghadap majikan besar itu?

Ada dua orang pengemis. Yang satu sendirian, sedang yang satu lagi dengan membawa kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Anak yang satu masih menyusu dan yang satu lagi baru bisa berjalan. Di antara dua orang yang pengemis itu, mana yang lebih mendapat perhatian saudara? Saudara tentu akan menjawab yang membawa anak yang kecil-kecil itulah yang lebih saya perhatikan. Kalau begitu adakah gunanya pengemis itu membawa kedua orang anaknya yang masih kecil? Kepada siapakah pengemis itu meminta? Kepada anak yang masih kecil-kecil jugakah pengemis itu meminta?

Semoga kiranya risalah yang kecil ini bermanfaat.

Wallahu a'lam bishshowab.

Saturday, September 11, 2010

Kula Ndherek, Gus

Oleh Ahmad Tohari
Berita Utama
02 Januari 2010

http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/01/02/93511/Kula.Ndherek..Gus

ADALAH Edy Yurnaedi almarhum. Suatu siang, pada 1987, wartawan Majalah Amanah itu bergegas masuk ke ruang redaksi di Jalan Kramat VI Jakarta. Dengan wajah gembira dia meminta beberapa redaktur, di antaranya saya, mendengarkan laporannya. Dia baru selesai mewancarai KH Abdurrahman Wahid di Kantor PBNU. Topik wawancaranya adalah pluralitas internal umat Islam Indonesia.


Maka rekaman wawancara pun diputar. Intinya, Gus Dur mengatakan, kemajemukan di dalam masyarakat muslim di Indonesia sudah menjadi kenyataan sejak berabad lalu. Meskipun sebagian besar umat Islam Indonesia menganut Mazhab Syafi’i namun ada juga yang mengambil mazhab lain. Bahkan penganut Islam Syi’ah, Ahmadiyah, abangan pun ada. Menurut Gus Dur tingkat penghayatan umat pun amat bervariasi dari yang hanya berkhitan dan bersyahadat waktu menikah sampai yang bertingkat kiai. Namun, ujar Gus Dur kemajemukan itu harus tetap terikat dalam ukhuwah islamiyah atau ikatan persaudaraan Islam. Artinya, sesama umat Islam yang berbeda aliran maupun tingkatan pemahaman seharusnya saling menyambung rasa saling hormat.

Gus Dur sangat tidak suka terhadap istilah Islam KTP atau Islam abangan. Baginya, semua orang yang sudah bersyahadat dan berkelakuan baik ya muslim. Mereka yang ketika bertamu masih memberi salam dengan ucapan kula nuwun (Jawa), punten (Sunda) atau selamat pagi, ya muslim karena syahadatnya.

” Kalau begitu Gus, ucapan assalamu alaikum bisa diganti dengan selamat pagi?” tanya Edy Yurnaedi.
” Ya bagaimana kalau petani atau orang-orang lugu itu bisanya bilang kula nuwun, punten atau selamat pagi? Mereka kan belum terbiasa mengucapkan kalimat dalam bahasa Arab kayak kamu?”

Itulah inti pendapat Gus Dur dalam wawancara dengan Edy Yurnaedi. Edy mengusulkan wawancara itu dimuat dalam Majalah Amanah edisi depan dengan penekanan bahwa Gus Dur menganjurkan mengganti assalamu alaikum dengan selamat pagi. Alasannya cukup konyol. Menurut Edy, Majalah Amanah yang kala itu baru berumur satu tahun harus membuat gebrakan dalam rangka menarik perhatian pasar. ” Kan nanti Gus Dur akan membantah. Dan bantahan itu kita muat pada edisi berikut. Nah, jadi malah ramai kan? Ini cuma taktik pasar kok,” Edy ngotot.

Drs H Kafrawi Ridwan MA yang waktu itu jadi pemimpin redaksi lebih suka mengambil sikap momong kepada yang muda. Maka usul Edy ditawarkan kepada rapat. Tentu ada yang pro dan kontra. Celakanya lebih banyak yang pro. Mereka beralasan seperti Edy, cuma taktik pemasaran, dan Gus Dur mereka yakini akan membantah.

Dan terbitlah edisi assalamu alaikum itu. Benar saja, masyarakat riuh. Gus Dur menuai kecaman. Oplah majalah terdongkrak. Dan Edy melanjutkan aksinya dengan mewawancarai kembali Gus Dur. Diharapkan Gus Dur akan membantah bahwa dia telah menganjurkan mengganti assalamu alaikum dengan selamat pagi. Tapi Edy amat terkejut ketika Gus Dur dengan enteng menjawab, buat apa membantah. ” Biarin, gitu aja kok repot.”

Edy pulang ke kantor dengan wajah lesu. Oleh pemimpin redaksi dia dianggap telah gagal menyukseskan strategi pemasaran. Memang, oplah naik tetapi makan korban berupa terjadinya fitnah di tengah masyarakat. Secara pribadi saya pernah minta Gus Dur berbuat sesuatu untuk menghentikan fitnah yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Tapi dasar Gus Dur. Dia tetap pada pendirian akan membiarkan fitnah itu berhenti sendiri.

Sayang fitnah itu ternyata berumur panjang. Setelah Gus Dur wafat kemarin masih terdengar suara penyiar yang mengatakan Gus Dur pernah ingin mengganti assalamu alaikum dengan selamat pagi. Maafkan kami para wartawan dan redaksi Majalah Amanah yang telah bermain api yang ternyata membakar kami sendiri. Gus Dur sendiri tetap berjiwa besar, tetap bersahabat, meskipun banyak yang terpaksa salah faham. Gus Dur tidak pernah mengusulkan mengganti assalamu alaikum dengan selamat pagi. Untuk hal ini saya akan menjadi saksi bagi Gus Dur.

Dia, dengan kebesaran jiwa hanya ingin mengajak siapa pun untuk menghargai sesama muslim yang bisanya mengucap salam dengan kula nuwun, punten, atau selamat pagi. Ini adalah sikap dasar Gus Dur yang menyintai semua muslim dari yang hanya bermodal khitan sampai yang bergelar kyai. Bahkan ukhuwwah basyariyah (persaudaraan kemanusiaan) yang berkembang dari iman membuat Gus Dur memiliki rasa cinta kepada siapa saja, tak pandang ras, agama, maupun status sosial. Sugeng tindak, Gus, insya Allah kula ndherek. (35)

HARI KE-40 RAMADHAN

Joha mempunyai kebiasaan bila selesai berpuasa sehari, dia memasukkan sebutir kerikil ke gucinya. Melihat Joha setiap hari berbuat seperti itu, anaknya, tanpa mengetahui tujuan ayahnya yang sebenarnya, berniat ingin membantu sang ayah. Maka diraupnya segenggam kerikil dan dimasukkannya ke guci ayahnya.

Suatu hari beberapa tetangga bertanya kepada Joha, “Tinggal berapa hari lagi ya, kita berpuasa ?”
“ Wah, kalau tinggal berapa hari, saya tidak tahu, tapi aku tahu pasti sudah berapa hari kita berpuasa.”
Berkata begitu Joha pun masuk ke rumah dan menghitung kerikil-kerikil yang ada dalam gucinya. Ternyata jumlahnya lebih dari seratus. Terheran-heran, Joha berkata dalam hatinya, “Kalau kusebutkan semua jumlah ini, tentu mereka akan menertawakanku, sebaiknya aku kurangi saja sedikit.”
Mendapatkan keputusan seperti itu, Johapun keluar dan dengan mantap mengatakan kepada para tetangganya, “ Alhamdulillah, kita sudah menjalani puasa kira-kira 40 hari,”
Mendengar itu, tentu saja para tetangga yang hadir tertawa geli. Sebaliknya Joha pun menertawakan mereka, katanya, “ Memangbulan Ramadhan sangat panjang bagi orang-orang yang berpuasa. Apa yang saya katakan itu sudah saya kurangi; coba kalau aku beritahukan kepada kalian jumlah yang sebenarnya,”

(Dari "Canda Nabi & Tawa Sufi". A. Mustofa Bisri, Penerbit Hikmah, 2002)

Do’a Kubur

Suatu ketika Kiai NU bertemu dengan seorang yang tidak percaya kalau do’a yang dikirimkan kepada ahli kubur akan sampai. Kontan saja terjadi dialog antara ketua umum PBNU ini dengan orang tersebut yang diketahui tidak sepaham dengan orang NU.

“Kami tidak percaya akan do’a yang dikirimkan kepada ahli kubur,karena tidak akan sampai pada yang bersangkutan,”ujar orang tersebut kepada Kiai.

“Lho, bacaan itu untuk mendo’akan orang yang sudah wafat agar terhindar dari siksa kubur. Itu do’a baik,” jelas Kiai.

“Tidak mungkin sampai, pak kyai. Masak orang mati bisa dikirimi do’a, jelas tidak akan bisa sampai,” bantah orang tadi ngotot.

Saking sulitnya orang tersebut mau menerima penjelasan dengan berbagai dalil-dalil yang ada, Kiai NU memberikan pemahaman dengan cara sederhana.

“Kalau sampeyan tidak percaya, sekarang orang tua sampeyan saya do’akan semoga mendapat siksa dari Allah SWT dan masuk neraka. Saya mendo’akan gini sampeyan tidak boleh marah lho, karena do’a itu tidak akan sampai,”kata Kiai sedikit bergurau.

Sontak saja, orang tadi bingung dan akhirnya mempercayai akan do’a yang dikirimkan bagi ahli kubur. (qomarul adib) 
http://www.nu.or.id/page.php

SHOLAT KAFAROT

Shalat kafarah

Bersabda Rasulullah SAW : ” Barangsiapa selama hidupnya pernah meninggalkan sholat tetapi tak dapat menghitung jumlahnya, maka sholatlah di hari Jum’at terakhir bulan Ramadhan sebanyak 4 rakaat dengan 1x tasyahud (tasyahud akhir saja), tiap rakaat membaca 1 kali Fatihah kemudian surat Al-Qadar 15 X dan surat Al-Kautsar 15 X .
niatnya: ” Nawaitu Usholli arba’a raka’atin kafaratan limaa faatanii minash-shalati lillaahi ta’alaa” Sayidina Abu Bakar ra. berkata ” Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sholat tersebut sebagai kafaroh (pengganti) sholat 400 tahun dan menurut Sayidina Ali ra. sholat tersebut sebagai kafaroh 1000 tahun. Maka bertanyalah sahabat : umur manusia itu hanya 60 tahun atau 100 tahun, lalu untuk siapa kelebihannya ?”. Rasulullah SAW menjawab, “Untuk kedua orangtuanya, untuk istrinya, untuk anaknya dan untuk sanak familinya serta orang-orang yang didekatnya/ lingkungannya. “


Setelah sholat sehabis salam membaca shalawat Nabi sebanyak 100 kali dengan shalawat apa saja, lalu berdoa dengan doa ini 3 tiga kali, setelah membaca Basmalah, Hamdalah, istighfar, syahadat dan shalawat : Allahumma yaa man laa tan-fa’uka tha’atii wa laa tadhurruka ma’shiyatii taqabbal minnii ma laa yanfa’uka waghfirlii ma laa yadhurruka ya man idzaa wa ‘ada wa fii wa idzaa tawa’ada tajaa wa za wa’afaa ighfirli’abdin zhaalama nafsahu wa as’aluka. Allahumma innii a’udzubika min bathril ghinaa wa jahdil faqri ilaahii khalaqtanii wa lam aku syai’an wa razaqtanii wa lam aku syaii’in wartakabtu al-ma’ashii fa-innii muqirun laka bi-dzunuubii. Fa in ‘afawta ‘annii fala yanqushu min mulkika syai’an wa-in adzdzaabtanii falaa yaziidu fii sulthaanika syay-’an. Ilaahii anta tajidu man tu’adzdzi buhu ghayrii wa-anaa laa ajidu man yarhamanii ghaiyraka aghfirlii maa baynii wa baynaka waghfirlii ma baynii wa bayna khlaqika yaa arhamar rahiimiin wa yaa raja’a sa’iliin wa yaa amaanal khaifiina irhamnii birahmatikaal waasi’aati anta arhamur rahimiin yaa rabbal ‘aalaamiin. Allahummaghfir lil mukminiina wal mukminaat wal musliimina wal muslimaat wa tabi’ baynana wa baynahum bil khaiyrati rabbighfir warham wa anta khairur-rahimiin wa shallallaahu ‘alaa sayidina Muhammadin wa ‘alaa alihii wa shahbihi wasallama tasliiman katsiiran amiin. (3 kali)

Artinya; Yaa Allah, yang mana segala ketaatanku tiada artinya bagiMu dan segala perbuatan maksiatku tiada merugikanMu. Terimalah diriku yang tiada artinya bagiMu. Dan ampunilah aku yang mana ampunanMu itu tidak merugikan bagiMu. Ya Allah, bila Engkau berjanji pasti Engkau tepati janjiMu. Dan apabila Engkau mengancam, maka Engkau mau mengampuni ancamanMu. Ampunilah hambaMu ini yang telah menyesatkan diriku sendiri, aku telah Engkau beri kekayaan dan aku mengumpat di saat aku Engkau beri miskin. Wahai Tuhanku Engkau ciptakan aku dan aku tak berarti apapun. Dan Engkau beri aku rizki sekalipun aku tak berarti apa-apa, dan aku lakukan perbuatan semua ma’siat dan aku mengaku padaMu dengan segala dosa-dosaku. Apabila Engkau mengampuniku tidak mengurangi keagunganMu sedikitpun, dan bila Kau siksa aku maka tidak akan menambah kekuasaanMu, wahai Tuhanku, bukankah masih banyak orang yang akan Kau siksa selain aku. Namun bagiku hanyaEnakau yang dapat mengampuniku. Ampunilah dosa-dosaku kepadaMu. Dan ampunilah segala kesalahanku di antara aku dengan hamba-hambaMu. Ya Allah Yang Maha Pemurah dan Maha Pengasih dan tempat pengaduan semua pemohon dan tempat berlindung bagi orang yang takut. Kasihanilah aku dengan pengampunanMu yang luas. Engkau yang Maha Pengasih dan Penyayang dan Engkaulah yang memelihara seluruh alam yang ada. Ampunilah segala dosa-dosa orang mu’min dan mu’minat, muslimin dan muslimat dan satukanlah aku dengan mereka dalam kebaikan. Wahai Tuhanku ampunilah dan kasihilah. Sesungguhnya Engkau Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Washollallahu ‘Ala sayyidina Muhammadin wa’ala alihi wasohbihi wasalim tasliiman kasiira. Amin.

TIGA NASEHAT

(Kisah ini didapat dalam klasik Rumi, Mathnawi. Kisah ini ditonjolkan dalam Kitab Ketuhanan karya Attar, salah seorang guru Rumi)

Pada suatu hari ada seseorang menangkap burung. Burung itu berkata kepadanya, "Aku tak berguna bagimu sebagai tawanan. Lepaskan saja aku, nanti kuberi kau tiga nasehat."




Si Burung berjanji akan memberikan nasehat pertama ketika masih berada dalam genggaman orang itu, yang kedua akan diberikannya kalau ia sudah berada di cabang pohon, dan yang ketiga ia sudah mencapai puncak bukit.

Orang itu setuju, dan meminta nasehat pertama. Kata burung itu, "Kalau kau kehilangan sesuatu, meskipun kau menghargainya seperti hidupmu sendiri, jangan menyesal."

Orang itupun melepaskannya, dan burung itu segera melompat ke dahan. Di sampaikannya nasehat yang kedua, "Jangan percaya kepada segala yang bertentangan dengan akal, apabila tak ada bukti."

Kemudian burung itu terbang ke puncak gunung. Dari sana ia berkata, "O manusia malang! diriku terdapat dua permata besar, kalau saja tadi kau membunuhku, kau akan memperolehnya!"

Orang itu sangat menyesal memikirkan kehilangannya, namun katanya, "Setidaknya, katakan padaku nasehat yang ketiga itu!"

Si Burung menjawab, "Alangkah tololnya kau, meminta nasehat ketiga sedangkan yang kedua pun belum 
kaurenungkan sama sekali! Sudah kukatakan padamu agar jangan kecewa kalau kehilangan, dan jangan mempercayai hal yang bertentangan dengan akal. Kini kau malah melakukan keduanya. Kau percaya pada hal yang tak masuk akal dan menyesali kehilanganmu. Aku toh tidak cukup besar untuk bisa menyimpan dua permata besar!

Kau tolol. Oleh karenanya kau harus tetap berada dalam keterbatasan yang disediakan bagi manusia."

Friday, September 10, 2010

TULISAN DI BATU NISAN JALALUDDIN AR-RUMI

Ketika kita mati, jangan cari pusara kita di bumi, tetapi carilah di hati manusia.

Aku mati sebagai mineral
dan menjelma sebagai tumbuhan,
aku mati sebagai tumbuhan
dan lahir kembali sebagai binatang.
Aku mati sebagai binatang dan kini manusia.
Kenapa aku harus takut?
Maut tidak pernah mengurangi sesuatu dari diriku.

Sekali lagi,
aku masih harus mati sebagai manusia,
dan lahir di alam para malaikat.
Bahkan setelah menjelma sebagai malaikat,
aku masih harus mati lagi;
Karena, kecuali Tuhan,
tidak ada sesuatu yang kekal abadi.

Setelah kelahiranku sebagai malaikat,
aku masih akan menjelma lagi
dalam bentuk yang tak kupahami.
Ah, biarkan diriku lenyap,
memasuki kekosongan, kasunyataan
Karena hanya dalam kasunyataan itu
terdengar nyanyian mulia;

“Kepada Nya, kita semua akan kembali”

Apa Yang mesti Ku lakukan
Apa yang mesti kulakukan, O Muslim? Aku tak mengenal didiku sendiri
Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, bukan Gabar, bukan Muslim
Aku bukan dari Timur, bukan dari Barat, bukan dari darat, bukan dari laut,
Aku bukan dari alam, bukan dari langit berputar,
Aku bukan dari tanah, bukan dari air, bukan dari udara, bukan dari api,
Aku bukan dari cahaya, bukan dari debu, bukan dari wujud dan bukan dari hal
Aku bukan dari India, bukan dari Cina, bukan dari Bulgaria, bukan dari Saqsin,
Aku bukan dari Kerajaan Iraq, bukan dari negeri Korazan.
Aku bukan dari dunia in ataupun dari akhirat, bukan dari Sorga ataupun Neraka
Aku bukan dari Adam, bukan dari Hawa, bukan dari Firdaus bukan dari Rizwan
Tempatku adalah Tanpa tempat, jejakku adalah tak berjejak
Ini bukan raga dan jiwa, sebab aku milik jiwa Kekasih
Telah ku buang anggapan ganda, kulihat dua dunia ini esa
Esa yang kucari, Esa yang kutahu, Esa yang kulihat, Esa yang ku panggil
Ia yang pertama, Ia yang terakhir, Ia yang lahir, Ia yang bathin
Tidak ada yang kuketahui kecuali :Ya Hu” dan “Ya man Hu”
Aku mabok oleh piala Cinta, dua dunia lewat tanpa kutahu
Aku tak berbuat apa pun kecuali mabok gila-gilaan
Kalau sekali saja aku semenit tanpa kau,
Saat itu aku pasti menyesali hidupku
Jika sekali di dunia ini aku pernah sejenak senyum,
Aku akan merambah dua dunia, aku akan menari jaya sepanjang masa.
O Syamsi Tabrizi, aku begitu mabok di dunia ini,
Tak ada yang bisa kukisahkan lagi, kecuali tentang mabok dan gila-gilaan.

Kesalehan Sufistik

Iblis dan Bala Kurawanya.

Gemuruh takbir bersahutan menjelang hari lebaran. Makna Iedul Fitri, berarti kembali pada fitrah yang suci. Kembali kepada Suasana kefitrahan kita ternyata dikejutkan oleh sesuatu yang dahsyat. Kita memang harus menang dalam peperangan melawan iblis. Takbir di hari lebaran diawali dengan tiga kali takbir, takbir pertama sesungguhnya menakbiri setan, iblis dan bala kurawanya yang hendak mengancam kemenangan kita dalam 29 atau 30 hari peperangan kita.


Takbir terhdap setan dan kurawanya sangat dibutuhkan, karena iblis sangat takut dengan takbir yag dikumandangkan hamba Allah. Kalau kita hayati maknanya, berarti Allah Maha Besar. Dalam pandangan Allah, semua makhluk termasuk kita, iblis, setan dan segala yang berbau makhluk akan kecil dan sangat tak berarti apa-apa. Karena itu kita setiap hari akan terus bertakbir. Kala itu setan bergelimpangan dari muka bumi. Termasuk bumi dihati kita.

Setan yang dibelenggu selama sebulan, akan melakukan balas dendam luar biasa setelah hari raya. Kerna itu takbir terus bergema setalah hari raya sampa tiga hari lamanya agar elemen-elemen setan benar-benar sirna dari diri kita.
Ancaman setan tidak mau kembali ke benak kita. Karena itu hanyati dan renungkan makna takbir itu sedalam-dalamnya, sebab kesetanan dalam diri kita akan segera tiba manakala kita tidak segera dan sering mengucapkan takbir.

Bahkan dalam salah satu wirid dari sebuah tarikat di dunia ini, ada bacaan takbir sebanyak 100 kali setiap hari. Berarti dalam diri kita ada sejuta setan bahkan milyaran yang setiap hari lahir.
Allahu Akbar! Hati-hati, ketika takbir berkumandang, setan juga pandai. Ia seringkali berselingkuh dengan hawa nafsu kita untuk memanfaatkan takbir demi kepentingannya. Maka muncullah takbir politik, takbir bisnis, takbir nafsu, takbir riya’, takbir pamer dan sebagainya.

Nah, jika setan mulai menguasai nafsu kita, maka takbir kita hanyalah takbir hura-hura. Karena itu hati-hati bertakbir, jangan sampai setan yang doyan sambal pete memanfaatkan takbir kita, hingga gundul kita sendiri seakan-akan sudah relegius, tetapi ternyata penuh dengan massa setan di atas kepala kita, nah..!! (Fatchan Sjarief) 

Sholat Ied di Hari Jum'at??? (Repost Iedul Adha)

S: Bagaimana hukumnya shalat Ied di hari Jumat??? Apakah menjadikan kewajiban shalat Jumat gugur???


J: Alhamdulillah. Dalam Kitab Mughni Al-Muhtaaj disebutkan bahwa Shalat Jum'at itu wajib berdasarkan firman Allah SWT dalam Surah Jum'ah ayat 9: "Hai orang-orang yang beriman, apabila telah dipanggil (adzan) shalat (pada hari) Jum'at, maka bersegeralah kepada dzikrullah (shalat) da tinggalkan jual beli..."
Maka, apabila shalat jum'at tetap wajib, meskipun bertemu dengan hari raya, karena itu adalah dua shalat yang berbeda dan tidak saling menggugurkan, seperti halnya shalat Id tidak menggugurkan shalat dzuhur. Hal ini sesuai dengan keumuman ayat (di atas) dan segenap dalil hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW dan para shahabat tetap melaksanakan shalat Jum'at.


Memang ada fatwa dalam madzhab Hanbali, sebagaimana diungkapkan pula oleh Ibnu Taimiyah, bahwa apabila hari raya bertepatan dengan hari Jum'at, maka ada keringanan bagi mereka yang telah melaksanakan shalat Id untuk tidak melaksanakan shalat Jum'at.

Selanjutnya mari kita teliti dalil-dalil yang dipergunakan dalam masalah ini dan memahami mengapa jumhur Ulama lebih memilih untuk

Pertama, shalat Jum'at itu wajib berdasarkan perintah langsung dari Al-Qur'an (Surah Al-Jum'ah ayat 9). Kedua, tidak ada satu dalil pun yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW tidak menyelenggarakan shalat Jum'at setelah melaksanakan shalat Id. Ketiga, rukhshah (keringanan) yang diberikan oleh Rasulullah adalah kepada penduduk "Aaliyah", yaitu orang-orang yang tinggal di daerah pinggiran (sebelah timur Madinah) yang jauh dari masjid tempat diselenggarakannya Shalat Jum'at. Mereka tidak dapat melaksanakan shalat Jum'at di tempat mereka sendiri, karena jumlah mereka kurang dari 40 orang, maka setiap kali Jum'at mereka selalu ke masjid Nabi untuk bersama-sama shalat Jum'at. Bila mereka diharuskan datang dua kali dalam sehari, maka sangat berat bagi mereka, karena perjalanan yang jauh. Bila mereka harus menunggu hari siang untuk Jum'at, maka mereka tidak bekerja yang diperlukan untuk menghidupi keluarga. Maka, bagi mereka diberikan keringanan, apabila sudah ikut shalat Id, boleh tidak shalat Jum'at, karena: 1. Berat bagi mereka untuk pulang pergi lagi (karena jauhnya tempat), 2. Waktu tempuh perjalanan bisa jadi tidak terpenuhi untuk mengejar shalat jum'at, 3. mereka tak dapat melaksanakan shalat jum'at sendiri, karena jumlah penduduk kampung mereka sedikit.

Untuk saat ini, rukhshah (keringanan) tersebut sudah tidak relevan lagi, karena tempat shalat Jum'at ada di mana-mana dan dapat dijumpai dengan mudah.

Mari kita teliti dalil-dalil yang diajukan oleh yang membolehkan tidak shalat Jum’at:

1. (seperti telah ditulis pak Ichsan) Imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Nasai dari Zaid bin Arqom menyaksikan bersama Rasulullah saw bersatunya dua hari raya. Maka beliau saw melaksanakan shalat id diawal siang kemudian memberikan rukhshah (keringanan) terhadap shalat jum’at dan bersabda,”Barangsiapa yang ingin menggabungkan maka gabungkanlah.”

Hadits ini aslinya berasal dari Iyas bin Abi Ramlah yang menceritakan bahwa ia melihat Muawiyah bertanya kepada Zaid bin Arqam mengenai hari raya yang bertepatan dengan hari Jum’at. Nah, Iyas bin Abi Ramlah ini adalah majhul (tidak dikenal oleh para perawi hadits), sehingga hadits ini dhaif.

Selain itu, ada perbedaan matan, antara penggunaan lafadz ”Man sya’a an yusholliya falyusholliya” dan ada yg mengatakan ”Man sya’a an yujammi’a falyujammi’”.


2. Abu Daud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairoh bahwa Nabi saw bersabda,”Sungguh telah bersatu dua hari raya pada hari kalian. Maka barangsiapa yang ingin menjadikannya pengganti (shalat) jum’at. Sesungguhnya kami menggabungkannya.”
Hadits ini adalah hadits mursal (lihat Nailul Authar)


3. Nasai dan Abu Daud meriwayatkan bahwa pernah terjadi dua hari raya bersatu pada masa Ibnu az Zubeir lalu dia mengakhirkan keluar (untuk shalat, pen) hingga terik meninggi lalu dia keluar dan berkhutbah kemudian melaksanakan shalat. Dia dan orang-orang tidak melaksanakan shalat pada hari jum’at.
Ini sebenarnya adalah atsar yang aslinya adalah riwayat dari Wahab ibnu Kaisan yang menceritakan keadaan pada masa Ibnu Zubair. Cerita Wahab ibnu Kaisan ini aneh, karena ia menyebut shalat yg didahului khutbah sebagai shalat Id. Sedangkan kita tahu bahwa shalat Id itu mendahului Khutbah dan yang didahului Khutbah itu adalah shalat Jum’at. Maka, keterangan dalam tanda kurung yang diberikan oleh pak Ichsan menjelaskan hal tersebut. Artinya, hadits ini tak dapat dijadikan dalil untuk meniadakan shalat Jum’at pada Hari Raya, sebaliknya justru shalat Id yang ditiadakan dan digabung dengan Shalat Jum’at (karena Jum’at yang wajib).



4. Di dalam riwayat Abu Daud bahwa pada masa Ibnu az Zubeir telah terjadi hari raya bertepatan dengan hari jum’at lalu dia menggabungkan keduanya dan melaksanakan shalat keduanya dengan dua rakaat lebih awal dan tidak tidak melebihkan dari keduanya hingga dia melaksanakan shalat ashar
Riwayat yang ini justru campur aduk dan bertentangan dengan riwayat pada no. 3. Selain itu, bisa juga maksudnya adalah shalat Jum’atnya dilaksanakan lebih awal dari biasanya. Yang perlu dipahami adalah bahwa shalat Jum’at di masa Rasulullah dan para shahabat itu selalu melewati waktu awal dzuhur (tidak tepat pas masuk waktu dzuhur Imam naik mimbar sebagaimana kita kenal sekarang ini). Beliau shalat qabliyah dahulu di rumah (artinya sudah masuk waktu dzuhur) baru menuju masjid untuk berkhutbah dan memimpin shalat.

Dalil yang dapat ditafsiri banyak begini tak dapat digunakan untuk menggugurkan kewajiban shalat Jum’at yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an.



5. Perkataan Utsman didalam khutbahnya,”Wahai manusia sesungguhnya hari kalian ini telah bersatu dua hari raya (jum’at dan id, pen). Maka barangsiapa dari penduduk al-‘Aliyah (Imam Nawawi mengatakan : ia adalah daerah dekat Madinah dari sebelah timur) yang ingin shalat jum’at bersama kami maka shalatlah dan barangsiapa yang ingin beranjak (tidak shalat jum’at) maka lakukanlah.”
Atsar dari Utsman ini sangat jelas menunjukkan bahwa rukhshah untuk tidak shalat Jum’at itu ditujukan hanya kepada penduduk ’Aliyah, bukan kepada setiap orang, dengan illat hukum jauh dan beratnya perjalanan, sebagaimana telah saya jelaskan di muka.

Atsar Utsman itu tidak lain mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dari Umar bin Abdul Aziz yang berkata: ”Pernah terhimpun dua hari raya (Id dan Jum’at) pada masa Rasulullah SAW, maka beliau (Rasulullah) bersabda: ”Bagi penduduk Aliyah, apabila mereka mau menunggu (untuk shalat Jum’at), maka silakan menunggu.” (Lihat Al-Umm)



Dengan demikian menjadi jelas bagi kita, bahwa Shalat Jum’at itu tetap wajib meskipun telah melaksanakan Shalat Id. Hal ini karena rukhshah bagi penduduk Aliyah itu adalah karena jauh dan beratnya perjalanan mereka ke Madinah. Kondisi itu tidak kita jumpai di Indonesia, kecuali untuk daerah-daerah tertentu yang sangat spesifik.


Wa Allah A’lam

H. M. Dawud Arif Khan; SE, Ak., CPA
Khadam Ikatan Mahasiswa Nahdhiyyin - STAN Jakarta
www.iman-stan.ning.com