Thursday, October 8, 2015

Ketiadaan Ilmu tanpa Sanad

Mendengarkan pengajian-pengajian secara langsung (live) merupakan sebuah Kuliah Umum yang luar biasa. Prespektif seorang Kiai dalam mengisi pengajian tentu tidak dapat diukur secara sains. Bahkan antar-Kiai saja akan dapat perbedaan-perbedaan dalam mengaji dan mengisi pengajian. Tetapi bagaimana para Kiai itu saling memahami antar satu dengan lainnya, padahal dapat dikatakan sering berbeda pendapat bahkan berseberangan pula. Mengapa?

Prespektif yang ditawarkan dalam paragraf kedua ini akan berbeda. Pada era kemajuan sekarang, dengan teknologi yang berkembang tiada batas. Keilmuan dapat diperoleh dengan singkat. Secara instan pun banyak. Menghasilkan beberapa dai-dai yang bersliweran di layar kotak itu. Kebanyakan dari mereka mengusung faham kesunahan, kembali ke khittoh Islam yakni Al Quran dan As Sunah. Tetapi ketika berseberangan pendapat, dampak yang ditimbulkan sangat luar biasa. Mengapa?


Dapatkah memahami bagaimana alur berpikir pada tulisan ini? Ada beberapa point penting yang dapat diambil. Pertama, cara belajar ilmu. Kedua, materi keilmuan. Ketiga, cara menyampaikan ilmu. Sebetulnya hal-hal semacam ini sudah tertamatkan ketika mengkhatamkan kitab Ta'lim Al Mutta'alim. Jadi, apakah ilmu itu penting? Adakah sebetulnya secara nyata ilmu itu? Ada atau tiada?

Pada bahasan berikutnya. Ilmu harus diyakini bahwa dia adalah Makhluk. Ketiadaannya tentu tidak mungkin, karena Allah SWT menciptakan sesuatu tentu dengan kemanfaatan yang melekat. Begitu pula dengan ilmu, ilmu itu bermanfaat dan akan bermanfaat lagi jika diterapkan. Inilah yang menjadikan ilmu itu bermanfaat, karena ilmu itu juga untuk diamalkan. Tentu saja, ilmu adalah suatu ke'ada'an, tidak bisa tidak tanpa ilmu.

Selanjutnya, menelaah hadits nabi, "Aku adalah kotanya ilmu dan Ali adalah pintunya, maka barang siapa yang menghendaki ilmu maka datangilah pintunya." Kali ini bukan membahas tentang status dari hadits ini, tetapi apa yang terkandung di dalam hadits ini. Bisa digambarkan inilah dalil tawasul ketika mencari ilmu. Ketika manusia akan mencari ilmu di kotanya, tentu harus melalui pintu (tawasul). Ini kunci pokok dan penting mengapa di pondok-pondok pesantren salafiyah, tidak hanya berdoa akan belajar tetapi juga mengirim doa dan fatihah kepada musonib atau pengarang kitab.

Inilah mengapa para Kiai yang berbeda pandangan pun akan saling menghargai, tidak kemudian gontok-gontokan. Kesejatian ilmu itu ada bermanfaat jika ia diperoleh dengan cara yang baik pula. Cara yang menekankan pada aspek spiritualitas, mengirim doa kepada musonib adalah salah satunya. Seperti hadits di atas, manusia harus mencari pintunya dulu, jika ia buta maka harus mencari pemandu. Otomatis pemandu itu adalah para pengarang kitab, karena tentu saja pengarang kitab telah sampai di kotanya ilmu, sudah berjumpa dengan gapuranya ilmu.

Hal ini membedakan dengan cara mencari ilmu yang singkat, cepat dan instan. Gus Mus dalam Kuliah Umumnya pernah berujar, "Orang yang sukanya marah-marah itu Ngajinya baru sampai Bab Ghodzob, padahal masih banyak yang perlu di ngajikan." Itulah, rahasia ilmu berada di Allah, kotanya ilmu ada di Baginda Nabi Muhammad SAW, pintunya ilmu ada di Sayyidina Ali kw. dan jalannya ilmu adalah para salafunash sholih, masyayikh, kiai, assatidz.

Dalam pengajiannya KH Marzuki Mustamar berpesan, Ngajikanlah anak-anak kepada para kiai di pondok-pondok pesantren karena di sana ia akan mendapatkan kesanadan ilmu. 

0 comments:

Post a Comment