Novel


                Mendung rupanya menggemuruh di ujung langit. Angin yang meniupkan awan itu dengan berani-berani nenunjukkan sikapnya yang tak bertanggung jawab. Namun, apa yang terjadi kemudian adalah bukan menjadi kehendak angin yang dengan keras berusaha mendorongnya.
Apa yang terjadi?
Di balik timur gunung itu memuntahkan cahaya kuning gemerlap. Mendung itu pun lari tersentak melihat cahaya mentari pagi itu. Meskipun telah lari, jejak yang diberikan oleh mendung itu terlihat oleh mentari. Entah, mentari marahkah dengan keadaan yang demikian.
Embun yang bersahaja itu serasa menemani dinginnya pagi sebelum cahaya mentari yang mulai bersinar. Kabut yang melayang-layang riang seperti memberi kesempatan pagi yang segar itu belum akan berujung panasnya mentari. Udara memang bersih namun apa yang ditimbulkan adalah dingin yang berlebih.
Dingin tanpa ujung itu memberi kesan indah bagi burung sriti yang terbang seolah tak memperdulikan apa pun kecuali sarangnya di bawah atap rumah-rumah penduduk. Burung itu terkejut, kenapa orang-orang di rumah masih terpejam matanya, masih terpejam mata hatinya yang terlelap dengan mimpi-mimpi indah.
Burung sriti itu terpaksa berlari setelah dari kejauhan terdengar derap kaki kuda yang berderap kencang. Hanya seekor kuda dengn pengendara yang amat menyesalkan. Biasanya debu mengepul mengejar larinya kuda, namun sekarang tidak ada apa-apa di belakang kuda yang berderap kencang itu.
Setelah semakin dekat.
Warga daerah tersebut tergugah dengan derap kuda yang begitu keras. Kerasnya hingga dapat memecahkan keheningan pagi. Tidak hanya keheningan yang terpecah, namun kecemasan warga pun terpecah. Ibu meminta kejantanan suaminya, sedangkan anak meringkul kedua kaki orang tuanya. Ketakutan itu terus saja membayang hingga suara derap orang berkuda itu lepas di tapal desa.
Kini giliran burung cataka atau rajawali yang melenggang diangkasa mencari sarapan pagi di pasar, jika ada. Kini mata yang tercipta tajam di burung itu memerhatikan dari sebuah arah dengan penuh pengharapan. Harapan dari arah itulah sang makanan pembuka hari keluar. Namun ketika muncul sosok berkuda, rajawali itu murung tujuh kepurung. Dengan tajam ia perhatikan orang itu.
Sosok orang yang belum dikenali oleh cataka itu.  Dari kudanya saja telah terbukti bahwa kuda itu memang kuda pilih tanding, kuda pilihan. Tentunya saja orang yang memilih itu pun bukan orang sembarangan. Dari cara berkudanya pula menandakan bahwa orang yang berkuda itu bukanlah orang awam.
Orang itu bertubuh tegap dengan dada yang membusung jantan. Bajunya yang berbatikkan bunga kenanga sedang mekar dengan ikat kepala yang menggambarkan dirinya adalah orang penting dari kelembagaan keprajuritan. Tapi keanehan terjadi, orang itu menyelipkan bunga melati diantara ikat dan telinga. Dia bernama Mandaraka.
Kemana tujuan orang yang bernama Mandaraka itu pergi?
Ada sebuah bangunan tua di ujung jalan yang tertempuh Mandaraka. Dan tepat disanalah Mandaraka akan singgah dengan sebuah keperluan yang tak pernah di duga sebelumnya. Bangunan itu berdiri dengan corak jogjo yang khas. Entahlah apa guna bangunan seperti ini di tempat seperti ini. Untuk mengamati pergerakan magma yang mungkin saja keluar dari puncak gunung itu.
“Mandaraka,” bisik yang terdengar di gendang telinga Mandaraka.
Mandaraka terkejut, namun tidak untuk mengurangi kecepatan laju tunggangannya. Satu yang membuat Mandaraka memelankan laju kudanya karena bisikan itulah yang berasal dari bangunan itu. Bisikan yang terpesan dari guru kanuragannya di tempat ini. Bisikan itu pula ilmu yang diajikan oleh gurunya.
Semakin dekatlah Mandaraka dengan bangunan itu. Bangunan yang cukup tua, sebagai tempat mengamati pergolakan magma dari dalam perut bumi. Dan guru Mandaraka itulah pewaris ilmu dari leluhurnya untuk menjaga Gunung Merapi.
Orang yang telah cukup umur untuk membaur menjadi tanah lagi berjalan menuruni beberapa anak tangga di bangunan itu. Satu persatu terlewat dengan jalan yang cukup tertatih. Mandaraka yang menyaksikan itu segera meloncat dari punggung kuda tunggangannya. Gerakan yang cukup gesit menyebabkan Mandaraka segera bersanding di tubuh gurunya.
“Kakang Haruna!” teriak Mandaraka.
“Haruna sedang di puncak gunung Anakmas,” jawab orang tua si samping sang peteriak.
Mandaraka tersentak dengan ucapan guru yang mengasuhnya itu.
Tanpa memikirkan jawaban itu, Mandaraka menuntun guru yang membimbingnya saat kecil untuk duduk di pendapa. Agar leluasa dengan bicara orang tua. Mandaraka sepenuhnya tahu akan hal kecil itu.
“Hamba menghadap Guru,” sembah Mandaraka memulai pembicaraan.
Orang tua itu hanya menganggukkan kepalanya dengan ringan seperti terduyun angin pagi.
“Aku telah bersepakat dengan Hyang Widdi Yang Esa tentang sebuah tugas amanat yang mungkin sangat berat bagi mu untuk kau emban,” guru tua itu memulai membicarakan keperluannya mengundang Mandaraka. Helaan nafas yang panjang membuat paru-paru orang tua itu terisi penuh dengan udara sesegar pagi kala itu.
“Satu takdir yang akan membuat diri kamu akan seperti tersiksa oleh kewajiban itu. Kau akan merasa dirimu kuat namun sejatinya kau tersiksa dengan keadaan seperti ini. Kau tahu apakah itu artinya?” tutur manusia tua itu.
Mandaraka yang menyimak dengan cermat menjawab pertanyaan itu hanya dengan menggelengkan kepala yang menandakan bahwa dirinya tidak mengetahui apa pun.
“Sebuah takdir itu hanya terdapat pada tangan mu namun aku harus mencampurinya karena takdir yang semula melekat pada Haruna harus dipindahkan di tangan yang mampu. Haruna telah aku didik sebagai orang yang tahu seluk beluk tentang gunung berapi saja. Ia tidak punya kelebihan lain untuk benar-benar menjalankan takdir ini sebaik kamu. Haruna adalah pewaris tanah ini bukan takdir itu,” jelas orang tua itu.

0 comments:

Post a Comment