Thursday, December 31, 2009

The Last Kanuragan episode 2

Petani yang mengelus-elus cangkul tadi kini mengamati keadaan yang berbeda. Tatapan mata itu sangat tajam, bahkan seekor rajawali yang mengamati Mandaraka kalah tajamnya dari petani yang satu ini. Tajam sekali, seolah-olah petani ini sangat mumpuni dengan ilmu ajian yang bernah dipelajarinya di Gunung Merapi.
“Eh, tunggu dulu Pak Tua! Kau bukan petani daerah sini bukan?” petani yang sayang sekali dengan cangkul itu berkata.
Petani yang dipanggil Pak Tua itu memalingkan wajahnya dan segara melangkah dengan santai menuju arah selatan. Caping yang menutupi wajahnya jelas saja tidak banyak orang yang tentu mengenalinya sejauh mungkin. Jika rahasia dari caping itu terbongkar maka dirinya akan disembah-sembah, dipuji-puji.
“Hey! Jangan pergi dulu Pak Tua!” teriak petani bercangkul itu.
Teriakan itu hanya dibalas dengan menghilangnya petani misterius itu di tengah ladang yang tengah digarap.
“Siapa dia Kakang?” tanya istri petani bercangkul itu.
“Dia Sunan Kalijaga,” jawab petani itu.
Siang tanpa mendung yang menggulung ternyata dapat pula menggetarkan tanah pijakan seperti tersengat petir yang menyambar-nyambar. Gelegar itu cukup mengagetkan para petani. Rasa was-was pada panenannya kini kian menjadi. Namun jauh dari itu, Petani itu menjadi sadar akan sesuatu yang kasat mata tidak mereka ketahui.
“Aku akan mengabdikan diri menjadi prajurit, tapi kalian semua jangan ada yang mengikuti langkahku, karena prajurit membutuhkan petani, petani juga memerlukan prajurit. Akan aku perdengarkan bahwa daerah inilah kebutuhan beras itu terpenuhi,” orang berpacul itu berucap tanpa berfikir apapun. Bebannya bukan beban lainnya.
“Kanjeng Sunan tadi menyampaikan pesan bahwa di tanah Pengging ini akan menjadi sebuah pusat pemerintahan mengantikan Glagah Wangi. Pastinya disertai dengan pertumpahan darah untuk menjaga wahyu agar tidak didapatkan oleh orang yang bertangan kotor. Tangan yang hanya memegang pedang sesekali mengayunkannya untuk merenggut nyawa orang tak bersalah hanya dengan iming-iming takhta,” lanjut orang itu.
Berdesir tajam semua petani yang berkumpul di tempat itu. Kebanyakan petani tidak tahu menahu tentang seluk beluk takhta angkara kini ada seorang petani yang kerjaannya mengelus-elus pacul namun berwawasan sundul langit. Apa yang dikatakan oleh petani bercangkul tadi itulah yang menyebabkan tatapan sinis mengarahkan kepada sudut pandang negatif.
“Kalian tahu? Pengging hanyalah pelantara pengganti Glagah Wangi. Bukan Pengging yang menjadi kerajaan besar namun setelah kemelut Demak Bintoro teratasi muncullah masalah lain yang akan menyebabkan Pengging kosong lagi. Pengging hanyalah pelantara munculnya kerajaan seperti Majapahit dahulu,” tambah lagi orang itu.
Petani bercangkul itu berbalik menatap wajah-wajah yang lusuh mengelilingi dirinya. Satu persatu wajah ia perhatikan dengan cermat tanpa kurang suatau apa dan hingga tatapan mata berakhir di wajah sang isteri yang disayanginya. Isteri yang melengkapi selama ini dalam anggota keluarga.
“Ibu, aku akan pergi ke Pengging. Jaga anak-anak kita sebaik mungkin. Setiap seminggu sekali aku usahakan untuk berpulang ke rumah mengobati rinduku pada kalian semua. Termasuk petani-petani kecil disini. Aku akan selalu mengabarkan apa yang terjadi di calon kota raja Pengging. Sekarang pun aku berangkat. Aku ditunggu Kanjeng Sunan di tepi sungai itu,” ucap petani itu sambil memegang tangan kekasihnya yang amat sangat ia cintai.
Seorang petani lain menyampatkan maju ke hadapan calon abdi kerajaan itu. “Kakang, jaga dirimu baik-baik di kota sana. Jangan lupa dengan pacul mu yang selalu kau urus itu!”
Petani bercangkul itu tertawa terkekeh-kekeh.
Angin mulai bergemulai dengan debu-debu yang sesekali mengepul. Panas pun kembali menyergap sebagian muka bumi. Namun, di bagian lain dari bumi kini berubah menjadi gelap dan dingin. Keringat-keringat pekerja keras pun mulai terkuras hingga perlu istirahat untuk memulihkannya. Kini mentari itu tepat berada di atas kepala manusia nun jauh disana.
Tak seberapa jauh dari para petani itu.
“Kau sudah tahu aku ternyata?” tanya Sunan Kalijaga kepada petani berpacul yang pernah disapanya belum lama ini.
Petani itu terpejam beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan dari orang yang sangat dikenalnya.
“Bukankah Paman Kalijaga juga tahu aku?” tanya balik pertanyaan Sunan Kalijaga.
“Kau aneh!” seru Sunan Kalijaga sambil membuka caping yang menutupi ikat kepala khas Sunan Kalijaga.
Petani itu termanggu beberapa saat. Mencerna apa maksud kata “aneh” itu.
“Aneh bagaimana Paman?” tanya petani itu akhirnya.
Sunan Kalijaga memamerkan rambutnya yang kian panjang dan terurai.
“Bagaimana rambutku? Kalau kala rambutku memanjang seperti ini, aku kembali teringat kepada Berandal Lokajaya yang berusaha memeras tongkat emas Kanjeng Sunan Bonang yang seusia lebih muda dariku. Terjadilah tarik menarik tongkat itu. Aku tarik tongkat dengan keras, Kakang Bonang justru mendorongku dengan keras, aku yang tidak terima kala itu aku dorong tubuh Kakang Bonang hingga terjatuh tak berdaya di tanah,” cerita Sunan Kalijaga tentang masa lalunya.
“Kemudian Paman tertawa terkekeh-kekeh seperti orang tak berosa. Tetapi apa yang dilakukan oleh Paman itu membuat Paman Bonang berusaha bangkit dan tanpa sengaja Paman Bonang mencaput rumput yang berada digenggaman tangannya,” lanjut Petani itu.
“Ternyata putera Anakmas Terung tahu persis tentang aku,” puji Sunan Kalijaga sambil membenahi ikatnya yang terobrak-abrik terkena caping.
Petani itu bernama Sengguruh putera Adipati Terung atau mempunyai nama yang cukup membuat jantung berdesir, yakni Raden Khusain.
“Kau tidak di selatan bersama adik mu?” tanya Sunan Kalijaga.
Sengguruh termenung.
“Kemarin aku sehabis bertemu dengannya. Ternyata kau lebih pintar dari adik mu. Adik mu bodho sekali. Aku mendapati anak muda itu menabur garam di sekeliling pohon kelapa. Ketika aku tanya mengapa ada garam disini, ia menjawab dengan culas, agar beruk tidak menaiki kelapa itu. Aku tunggu beberapa saat ketika ada seekor beruk mencoba naik tetap saja beruk itu bisa naik,” sahut Sunan Kalijaga.
Sengguruh kembali termenung.
Perputaran waktu kemali terjadi di dalam pengingat-ingat Sengguruh. Bayangan demi bayangan masa lalu itu berputar kembali dalam sekat pikiran-pikiran yang kosong. Kejadian itulah yang menyebabkan Sengguruh serasa bermimpi kembali ke masa lalu bersama keluarga tercinta. Matanya kini mulai terpejam menjelaskan bahwa dirinya tengah menerawang waktu ke masa lalu lagi untuk kedua kalinya.
“Kau ini mau tidak menjadi penerusku?” bentak Adipati Terung.
Raden Trenggono tetap tidak bergeming mendapati bentakan dari ayahnya. Dengan sangat tegas Trenggono menjawab, “Tidak ada dunia pun aku tidak mau menjadi seorang pejabat Ayah! Serahkan saja kepada saudara-saudara ku!”
Adipati Terung memejamkan mata untuk menghilangkan amarah yang tengah berada di puncak namun semua usaha itu sia-sia.
“Trenggono!” teriak Adipati Terung dengan suara yang agak serak. “Keluar dari rumah ini, dan jangan sekali-kali injakkan kaki mu lagi di rumah ini!”
Bentakan itu dijawab Raden Bagus Trenggono dengan cekat. Dirinya meloncat keluar melalui jendela kemudian menghilang entah kemana. Angin mungkin membawanya, tetapi membawa Trenggono ke tempat macam apa. Ataukah Trenggono dimakan bumi dikunyah hingga antar tulang-tulang bergesekan dan akhirnya melebur menjadi satu dengan bumi itu sendiri.
Dari pintu depan terdengar suara ketukan pintu.
Adipati Terung segera membukakan pintu meski wajah amarah itu jelas terlihat dari tampang brengosnya yang lebat dan khas Adipati Terung.
“Paman Wanasalam,” desis Adipati Terung.
Patih Wanasalam segera membungkuk hormat kepada adik raja Glagah Wangi.
“Paman!” teriak Sengguruh kecil.
“Ini Sengguruh, Anakmas?” tanya Patih Wanasalam kepada Adipati Terung.
Adipati Terung sesegera mungkin menyimpan rapi amarahnya kepada Raden Trenggono.
“Benar Paman, ini bocah kecil yang dulu itu,” jawab Adipati Terung.
Sengguruh kecil kemudian risih dengan tangan Patih Wanasalam yang sejak tadi mengobrak-abrik rambutnya yang rapi.
“Aku sudah tak ingat lagi aku bertemu adik ku kapan Paman Kalijaga,” tutup Sengguruh.
Sunan Kalijaga hanya mengangguk-angguk kecil.
(BERSAMBUNG)

0 comments:

Post a Comment