Sunday, November 1, 2009

The Last Kanuragan episode 1

            Mendung rupanya menggemuruh di ujung langit. Angin yang meniupkan awan itu dengan berani-berani nenunjukkan sikapnya yang tak bertanggung jawab. Namun, apa yang terjadi kemudian adalah bukan menjadi kehendak angin yang dengan keras berusaha mendorongnya.
Apa yang terjadi?
Di balik timur gunung itu memuntahkan cahaya kuning gemerlap. Mendung itu pun lari tersentak melihat cahaya mentari pagi itu. Meskipun telah lari, jejak yang diberikan oleh mendung itu terlihat oleh mentari. Entah, mentari marahkah dengan keadaan yang demikian.
Embun yang bersahaja itu serasa menemani dinginnya pagi sebelum cahaya mentari yang mulai bersinar. Kabut yang melayang-layang riang seperti memberi kesempatan pagi yang segar itu belum akan berujung panasnya mentari. Udara memang bersih namun apa yang ditimbulkan adalah dingin yang berlebih.
Dingin tanpa ujung itu memberi kesan indah bagi burung sriti yang terbang seolah tak memperdulikan apa pun kecuali sarangnya di bawah atap rumah-rumah penduduk. Burung itu terkejut, kenapa orang-orang di rumah masih terpejam matanya, masih terpejam mata hatinya yang terlelap dengan mimpi-mimpi indah.
Burung sriti itu terpaksa berlari setelah dari kejauhan terdengar derap kaki kuda yang berderap kencang. Hanya seekor kuda dengn pengendara yang amat menyesalkan. Biasanya debu mengepul mengejar larinya kuda, namun sekarang tidak ada apa-apa di belakang kuda yang berderap kencang itu.
Setelah semakin dekat.
Warga daerah tersebut tergugah dengan derap kuda yang begitu keras. Kerasnya hingga dapat memecahkan keheningan pagi. Tidak hanya keheningan yang terpecah, namun kecemasan warga pun terpecah. Ibu meminta kejantanan suaminya, sedangkan anak meringkul kedua kaki orang tuanya. Ketakutan itu terus saja membayang hingga suara derap orang berkuda itu lepas di tapal desa.
Kini giliran burung cataka atau rajawali yang melenggang diangkasa mencari sarapan pagi di pasar, jika ada. Kini mata yang tercipta tajam di burung itu memerhatikan dari sebuah arah dengan penuh pengharapan. Harapan dari arah itulah sang makanan pembuka hari keluar. Namun ketika muncul sosok berkuda, rajawali itu murung tujuh kepurung. Dengan tajam ia perhatikan orang itu.
Sosok orang yang belum dikenali oleh cataka itu.  Dari kudanya saja telah terbukti bahwa kuda itu memang kuda pilih tanding, kuda pilihan. Tentunya saja orang yang memilih itu pun bukan orang sembarangan. Dari cara berkudanya pula menandakan bahwa orang yang berkuda itu bukanlah orang awam.
Orang itu bertubuh tegap dengan dada yang membusung jantan. Bajunya yang berbatikkan bunga kenanga sedang mekar dengan ikat kepala yang menggambarkan dirinya adalah orang penting dari kelembagaan keprajuritan. Tapi keanehan terjadi, orang itu menyelipkan bunga melati diantara ikat dan telinga. Dia bernama Mandaraka.
Kemana tujuan orang yang bernama Mandaraka itu pergi?
Ada sebuah bangunan tua di ujung jalan yang tertempuh Mandaraka. Dan tepat disanalah Mandaraka akan singgah dengan sebuah keperluan yang tak pernah di duga sebelumnya. Bangunan itu berdiri dengan corak jogjo yang khas. Entahlah apa guna bangunan seperti ini di tempat seperti ini. Untuk mengamati pergerakan magma yang mungkin saja keluar dari puncak gunung itu.
“Mandaraka,” bisik yang terdengar di gendang telinga Mandaraka.
Mandaraka terkejut, namun tidak untuk mengurangi kecepatan laju tunggangannya. Satu yang membuat Mandaraka memelankan laju kudanya karena bisikan itulah yang berasal dari bangunan itu. Bisikan yang terpesan dari guru kanuragannya di tempat ini. Bisikan itu pula ilmu yang diajikan oleh gurunya.
Semakin dekatlah Mandaraka dengan bangunan itu. Bangunan yang cukup tua, sebagai tempat mengamati pergolakan magma dari dalam perut bumi. Dan guru Mandaraka itulah pewaris ilmu dari leluhurnya untuk menjaga Gunung Merapi.
Orang yang telah cukup umur untuk membaur menjadi tanah lagi berjalan menuruni beberapa anak tangga di bangunan itu. Satu persatu terlewat dengan jalan yang cukup tertatih. Mandaraka yang menyaksikan itu segera meloncat dari punggung kuda tunggangannya. Gerakan yang cukup gesit menyebabkan Mandaraka segera bersanding di tubuh gurunya.
“Kakang Haruna!” teriak Mandaraka.
“Haruna sedang di puncak gunung Anakmas,” jawab orang tua si samping sang peteriak.
Mandaraka tersentak dengan ucapan guru yang mengasuhnya itu.
Tanpa memikirkan jawaban itu, Mandaraka menuntun guru yang membimbingnya saat kecil untuk duduk di pendapa. Agar leluasa dengan bicara orang tua. Mandaraka sepenuhnya tahu akan hal kecil itu.
“Hamba menghadap Guru,” sembah Mandaraka memulai pembicaraan.
Orang tua itu hanya menganggukkan kepalanya dengan ringan seperti terduyun angin pagi.
“Aku telah bersepakat dengan Hyang Widdi Yang Esa tentang sebuah tugas amanat yang mungkin sangat berat bagi mu untuk kau emban,” guru tua itu memulai membicarakan keperluannya mengundang Mandaraka. Helaan nafas yang panjang membuat paru-paru orang tua itu terisi penuh dengan udara sesegar pagi kala itu.
“Satu takdir yang akan membuat diri kamu akan seperti tersiksa oleh kewajiban itu. Kau akan merasa dirimu kuat namun sejatinya kau tersiksa dengan keadaan seperti ini. Kau tahu apakah itu artinya?” tutur manusia tua itu.
Mandaraka yang menyimak dengan cermat menjawab pertanyaan itu hanya dengan menggelengkan kepala yang menandakan bahwa dirinya tidak mengetahui apa pun.
“Sebuah takdir itu hanya terdapat pada tangan mu namun aku harus mencampurinya karena takdir yang semula melekat pada Haruna harus dipindahkan di tangan yang mampu. Haruna telah aku didik sebagai orang yang tahu seluk beluk tentang gunung berapi saja. Ia tidak punya kelebihan lain untuk benar-benar menjalankan takdir ini sebaik kamu. Haruna adalah pewaris tanah ini bukan takdir itu,” jelas orang tua itu.

Mandaraka harus menganggukkan kepalanya untuk tahu bahwa penjelasan itu benar-benar
“Tugasmu hanya mengumpulkan ajian kanuragan pamungkas dari setiap perguruan kanuragan yang ada di Javadwipa. Jika kau sulit bagaimana caranya mewarisi ilmu itu. Bergurulah lagi kepada Ki Ageng Mangir di selatan sana dan Ki Ageng Pragringsing di Gunung Lawu. Kau hanya butuh dua ajian dari orang-orang tersebut untuk nmelancarkan tugasmu,” kembali orang tua itu menjelaskan.
Mandaraka seolah-olah tak punya kebiasaan lain selain mengangguk ketika seseorang sedang berusaha menjelaskan sesuatu. Tentunya saja anggukan itu berarti, dirinya tahu persis bagaimana penjelasan itu.
“Kau pergi tanpa pamitkan? Sekarang Pemanahan sedang mencarimu! Bergegaslah pulang. Sekembalinya jangan kau kasih tahu saudara-saudara mu tentang semua ini,” pesan orang tua itu dengan penuh perasaan.
Angin pagi yang mendesis membuat sebagian daun yang kedinginan terpaksa menggugurkan dirinya sendiri ke tanah. Namun, yang daun itu dapat adalah tanah yang juga dingin bahkan tanah itu pun berair. Daun yang putus asa itu lantas menangis sejadi-jadinya sehingga tubuhnya yang dingin itu berair.
Rajawali yang mengintai Mandaraka sejak di muka jalan, kini mengintai tikus yang sedang beraksi di luar rumah seorang penduduk. Tatapan tajam dari mata sang rajawali itulah tikus-tikus yang beraksi tidak bisa menghindar dari ancaman rajawali yang lapar. Berlari kesana-kemari bukanlah hal yang baik dilakukan oleh tikus-tikus itu, tetapi hanya bersembunyilah hal yang pantas mereka lakukan saat ini.
Mentari kian meninggi sesuai dengan jadwalnya. Para pedagang dari kota raja Glagah Wangi terus berdatangan dengan hadirnya pasar Ngandayaningrat di dekat kota raja Pengging. Sapi-sapi yang tubuhnya besar-besar itu menarik beban berat di belakang tetap menunjukkan kegigihan sapi-sapi itu.
Hanya para petani yang terkejut dengan hal itu. Mengapa orang kota berpindah ke desa. Sebuah pertanyaan para petani yang tak mungkin terjawab tanpa melakukan sebuah tindak lanjut yang terjamin kepastiannya mengapa orang-orang kota berpindah ke Pengging.
“Ingat dengan putra Kakang Kebo Kenanga almarhum?” tanya seorang petani kepada temannya yang sedang mengelus-elus cangkul kesayangannya.
“Apa maksudmu dengan putra Kakang Kebo Kenanga?” tanya balik petani itu.
Petani pertama hanya bisa mengelus-elus dadanya yang setengah berdesir itu.
“Wahyu itu sudah digapainya,” gumam petani pertama itu.
Gumaman itu membuat petani disekeliling petani pertama tercengang. Wajah-wajah itu penuh pertanyaan yang harus terjawab dengan segera karena kata-kata yang terucap dari petani pertama hanya sepenggal kalimat yang kurang jelas. Wahyu apa itu?
“Anakmas Karebet telah mendapatkan Wahyu Kedaton. Wahyu yang diperebutkan oleh para sanak saudara Pangeranku Trenggono. Seletah terbunuhnya Kyai Kali Nyamat dan Sunan Prawata ternyata Anakmas Karebet mengambil alih kekuasaan. Inilah takdir itu,” jelas petani itu dengan singkat namun memberi kesan aneh di wajah petani disekitarnya.

(BERSAMBUNG)

0 comments:

Post a Comment