Thursday, November 4, 2010

Radikalisme dalam Masjid`

Judul: Benih-Benih Islam Radikal di Masjid; Studi Kasus Jakarta dan Solo
Penulis: Ridwan al-Makassary (Ed.)
Pengantar: Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
Penerbit: CSRC, UIN Jakarta
Cetakan: I, 2010
Tebal: xxxii+358 Halaman
Peresensi: Ahmad Syauqi, SH, M.Hum*

Keberadaan masjid sebagai pertanda bahwa Islam sebagai agama masih eksis di muka bumi ini. Eksistensi masjid merupakan ikon kejayaan Islam, karena masjid sebagai pertanda tempat beribadan umat Islam. Kalau ada pertanyaan apa yang paling Islam dari masjid? Jawabnya sangat sederhana; salatnya. Selain itu merupakan akulturasi dan hasil ijtihad. Seperti kubah tidak ada dalam tradisi Arab. Di Eropa kubah identik dengan gereja. Jadi kubah merupakan Islamisasi kultural oleh umat Islam. Menara (manarot) yang merupakan bagian penting dari masjid juga bukan dari Islam. Mulanya adalah tempat api untuk memuja para dewa dari bangsa Majusi.

Fungsi masjid di dalam Islam tidak hanya sebatas sebagai tempat ibadah, melainkan multifungsi. Dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, ketika Nabi mau menyelesaikan persoalan yang terkait dengan persoalan umat Islam semuanya dilaksanakan di masjid. Sehingga masjid tidak hanya berfungsi sebagai tempat salat, melainkan berfungsi sebagai tempat musyawarah, pendidikan, lembaga perekonomian, seperti baitul mal, tempat pelatihan aneka keterampilan (skill), hingga latihan perang.

Dalam catatan sejarah, tidak sedikit kita temui dalam beberapa literatur, data yang menunjukkan tentang alih fungsi tempat ibadah. Seperti masjid yang berubah menjadi gereja, dan tidak sedikit pula gereja yang menjadi masjid. Dinamika itu terjadi karena masing-masing agama mempunyai visi dan misi untuk mengajak umat agar memeluk, masuk dan menjadi pengikutnya sehingga berjumlah banyak dan menjadi kuat.

Tetapi Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin dalam perkembangannya tetap menampilkan sebagai agama berwajah ramah dan damai. Karena hingga kini, belum ada data yang menampilkan dikala Islam datang kemudian menghancurkan tempat ibadah agama lain. Di mata dunia, umat muslim merupakan masyarakat yang memiliki karakter ramah dan damai. Tetapi dalam dasawarsa ini, sifat itu tercoreng akibat maraknya aksi-aksi kekerasan dan teror bom, yang dipicu oleh peningkatan pemikiran Islam radikal di Indonesia.

Pasca runtuhnya kekuasan Orde Baru yang dinahkodai Soeharto, beralih menjadi masa reformasi ada perbincangan serius di kalangan umat Islam sendiri tentang kondisi masjid sebagai tempat peribadatan muslim. Hal itu wajar terjadi karena umat Islam Indonesia tergolong dalam beberapa kelompok. Mulai dari yang mengaku dirinya sebagai golongan Islam moderat (al tawassuth) yang wakili oleh NU dan Muhammadiyah hingga yang golongan radikal seperti Wahabi, Salafi, HTI, Front Pembela Islam (FPI), TMI, LDII dan kelompok Islam liberal sekarang justru banyak diminati anak muda muslim. Dua kelompok Islam (moderat dan radikal) sama-sama mempunyai pengikut besar jumlahnya dan mempunyai masjid sebagai tempat peribadatan masing-masing.

Melihat adanya beberapa aliran diatas, maka kasusnya berbeda dengan yang kita dapati pada waktu sebelumnya. Kalau dulu banyak tempat ibadah agama tertentu menjadi tempat peribadatan agama lain, di Indonesia justru terjadi yang sebaliknya. Masjid milik kelompok Islam tertentu mulai dikuasai oleh kelompok Islam yang mempunyai pemikiran radikal.

Akibat tindakan yang dilakukan kelompok Islam radikal, akhirnya muncul adanya kekhawatiran dari ormas Islam akan kehilangan masjidnya. Tidak heran jika ada anekdot mengatakan, jika orang NU salat di masjid Muhammadiyah, sandalnya hilang. Kalau orang Muhammadiyah, salat di masjid NU, maka masjid NU-nya yang hilang. Sedangkan kalau orang PKS salat di masjid Muhammadiyah, maka jamaah masjidnya yang hilang.

Menyikapi hal diatas, dua ormas terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah membuat kebijakan. Kebijakan yang dimaksud adalah PBNU mengeluarkan rekomendasi tentang sertifikasi masjid-masjid NU agar tidak diambil oleh kelompok Islam radikal. Sementara PP Muhammadiyah mengeluarkan Surat Keputusan Pimpinan Pusat (SKPP) Muhammadiyah No. 149/Desember 2006 agar hasil amal usaha Muhammadiyah tidak dicablok oleh kelompok Islam radikal.

Lalu, benarkah ada pemikiran radikal di masjid dan seberapa jauh masjid digunakan sebagai locus persemaian pemikiran radikal? Buku Benih-Benih Islam Radikal di Masjid; Studi Kasus Jakarta dan Solo yang merupakan hasil penelitian garapan Centre for the Study of Religion and Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta yang isinya banyak menyajikan data-data secara akurat dalam rangka menjawab pertanyaan tersebut diatas.

Sederhananya buku ini ingin menampilkan kepada para tokoh agamawan, pemerhati, peneliti, akademisi, pimpinan ormas Islam, seperti NU dan Muhammadiyah dan masyarakat sendiri. Bahwa dari data yang dihasilkan di lapangan, ada ketidaksamaan pendapat/pemikiran antara elit-elit agamawan dengan pengikutnya. Misalnya, para elit agama (NU dan Muhammadiyah) wacana tentang NKRI sudah final dan tidak bisa digantikan dengan sesuatu apa pun, data di bawah (grass root) masih menunjukkan bahwa umat Islam yang berkeinginan wajib mendirikan negara Islam 21% dan umat Islam wajib memperjuangkan khilafah angkanya mencapai 32% (hl. 91).

Contoh lain tentang formalisasi syari’ah. Elit-elit agama sering beranggapan bahwa hukum di Indonesia telah mengakomodasi hukum syari’ah dan tak perlu memperjuangkan hukum formal, dari data yang dihimpun jamaah masih beranggapan wajib memberlakukan pidana Islam 31%, umat Islam wajib memperjuangkan Piagam Jakarta 45%, Negara berwenang mengatur cara pakaian 60% (hl. 52). Dan masih banyak ketimpangan opini lainnya, misalnya tentang terorisme, tindakan FBI yang semakin brutal, aliran Ahmadiyah, isu gender, dan faham pluralisme.

Pemikiran Islam radikal –jujur dan tidak perlu ditutup-tutupi– memang mulai menggejala di beberapa masjid di Indonesia, tidak sedikit pula masjid yang moderat. Tetapi kalau pemikiran-pemikiran radikal terus berkembang dan ada upaya-upaya strategis yang dilakukan oleh kelompok Islam radikal, maka akan berbahaya terhadap wajah masa depan Islam Indonesia yang dinilai oleh bangsa luar sebagai masyarakat muslim yang ramah dan damai.

*Ketua Umum PP IPNU

0 comments:

Post a Comment