Monday, September 13, 2010

MENGISI KEMERDEKAAN

Keriungan para “tokoh jamaah selasanan” sehabis ngaji kali ini tergolong lengkap. Selain anggota tetap seperti Kang Kimin De-pe-er; Kang Mansur Jagal; Slamet Necis Mangil Aliflammim; Si Dul Usil; dan Modin Rosyan; ada tokoh-tokoh tua: Mbah Daud dan mbah Syukur. Maudlu’ atau topik pembicaraan tentu saja- apalagi kalo tidak- sekitar hari peringatan kemerdekaan.



Dengan kebanggaan yang polos, masing-masing menceritakan apa yang telah dan akan dilakukan di kampungnya dalam rangka memeriahkan dan mensyukuri kemerdekaan negaranya. Si Dul misalnya, menceritakan bahwa dia mengikuti hampir semua perlombaan yang diadakan desanya; mulai dari main catur hingga jambean. “ Bukan hadiah yang penting”, katanya tapi pokoknya ikut rame-rame memeriahkan!’

Kang Mansur Jagal, untuk bagaimana dia dan kawan-kawanya bikin sketeng model joglo di gang masuk desanya.

Para tokoh jamaah tertawa geli ketika Slamet Necis cerita akan ikut “Bersepeda Hias”. Manggil Aliflammin (dijuluki Aliflamimmim, karena setiap diminta Qira’ah, membaca Al-Qur’an, selalu membaca hafalannya: Alif-Lam-mim) yang terkenal nylekit berkomentar dengan nada bertanya, Lho, Met, panitianya kok memperoleh kau ikut ?”

"Memangnya kenapa ?”

“ Lha sepedamu nggak ada pedalnya gitu lho. Suka los lagi !”

“kurang asem. Jangan ngenyek kamu ! kalo sudah saya hias, wow, nggak kalah penampilannya dari federal-gadunganmu !”

“Kalau mau ikut juga, pinjam saja sepedanya mbah Syukur. Wantek dan antik! tidak dihiaspun, menarik perhatian !”

“Ee, kok jadi sepedamu keramatku diikut-ikutkan.” Sergah mbah Syukur yang dari tadi Cuma urun senyum-senyum, “kualat nanti kau !”

“Yoh, yoh, bersenang-senanglah kalian !’ Tiba-tiba suara baritone mbah Daud seperti meningkatkan mereka akan keberadaan tokoh tua yang mereka hormati itu ditengah-tengah mereka. Mereka pun sadar dan bersiap-siap mendengarkan pinisepuh mereka yang jarang bicara ini. Mereka ingin mendengar mbah Daud tempo doeloe dijadikan semacam markas tentara kita dan hingga kini masih dihormati orang karena kesederhanaan dan sikap kebapakannya.

“Kalian boleh dan memang sudah sewajarnya bergembira memeriahkan Hari Kemerdekaan negara kita tercinta ini. Tapi harus selalu kalian ingat pidato-pidato para pemimpin kita, yaitu bahwa kita tidak boleh hanya menyukuri dengan upacara-upacara dan segala macam keramaian tujuh belasan saja. Tapi lebih dari itu, kita harus mensyukurinya juga dengan tekad dan melakukan perjuangan yang lain. Berjuang untuk mengisi kemerdekaan itu sendiri. Atau dengan kata lain, berjuang untuk menjadi bangsa yang benar-benar merdeka. Membangun di segala bidang, menolong ngentas yang masih miskin dan bodoh, itu perjuangan kalian kini. Begitu ‘kan kata bapak-bapak kita selalu?

Mbah Daud menjentik-jentikkan rokok ting-we-nya ke asbak, sebentar-sebentar menyedotnya dalam-dalam, kemudian sebelum asap rokoknya dihembuskan, dia melanjutkan wejangannya. “Masing-masing harus ikut cawe-cawe. Apa saja yang dimampuinya. Punya okol, urunkan bagi mengisi kemerdekaan! Paling apes-apesnya, kalau tidak bisa berbuat apa-apa, jangan sampai ngrusuhi apalagi mengkhianati perjuangan mengisi kemerdekaan ini”.

“Dan ingatlah, dulu di zaman berjuang merebut kemerdekaan, kita menghadapi tidak hanya penjajah Asing, tapi juga harus menghadapi perusuh dan pengkhianat bangsa. Mereka ini bangsa kita sendiri juga yang –karena kelemahan mental, keyakinan dan kecintaan mereka terhadap tanah air mereka, terlalu takut menderita atau ingin mukti sendiri- mentolo terhadap bangsa sendiri. Nah, jangan sampai dalam perjuangan mengisi kemerdekaan ini, kelemahan-kelemahan seperti itu dibiarkan”.

Kawan-kawan jamaah tetap diam menyimak nasihat orangtua yang sangat mereka hormati itu. Mbah Daud pun melanjutkan:

“Dan yang lebih penting lagi: di hadapan hak, jangan ada yang merasa lebih memiliki negeri ini; sementara di hadapan tanggung jawab seolah-olah tidak ikut memilikinya. Kelakuan begini sama saja dengan para perusuh dan pengkhianat di zaman penjajahan dulu. Dan ingat-ingatlah, betapapun tinggi kedudukan kalian dan betapapun besar tanggung jawab kalian, jangan sekali-kali merasa paling hebat, lalu merendahkan orang lain. Marilah bersama-sama, seukur wewenang dan tanggung jawab serta kemampuan masing-masing membangun negeri kita tercinta ini dengan penuh kasih sayang. Saling mengingatkan bila ada yang lupa dan saling membetulkan apabila ada yang salah”.

“Maaf, Mbah”, tiba-tiba si Dul –seperti sudah menjadi adatnya- nginterupsi. “Kalau kedudukannya seperti mbah Daud atau pak Lurah memang gampang menegur, mengingatkan atau membetulkan kesalahan orang; kalau rakyat jelata seperti saya ini, mana berani mengingatkan dan lain sebagainya. Salah-salah awak kena tempeleng”.

Kawan-kawan jamaah tertawa mendengar omongan si Dul. Sedang mbah Daud hanya tersenyum sebelum kemudian berkata:

“Memang kita ini sudah terlanjur salah kaprah ya, tidak membiasakan budaya ikhlas dan saling mengingatkan serta saling membetulkan antara kita. Mestinya kita kan harus memahami sikap saling mengingatkan dan saling membetulkan itu sebagai bagian dari kasih-sayang antara kita sesama saudara sebangsa”.

Mbah Daud berhenti sejenak, menarik napas panjang, baru kemudian melanjutka, “Yah, kita mulai saja dari lingkungan kita sendiri, Dul. Kita kembangkan sikap ikhlas dan saling menyayangi dalam arti sebenarnya; termasuk membudayakan sikap saling mengingatkan dan membetulkan itu tadi. Siapa tahu nanti bisa menular ke sana ke mari”.

Semuanya manggut-manggut, seolah-olah berjanji untuk melaksanakan saran dan nasihat sesepuhnya itu; sebelum akhirnya mereka bubar.
(KH.MUSTOFA BISRI)

0 comments:

Post a Comment