Wednesday, December 15, 2010

Bid'ah bag 3 (Penjelasan Hadits Ketiga)

HADITS KETIGA

Rasulullah SAW bersabda:

وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِيْ اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا ...“.. Dan barangsiapa mengadakan Bid’ah yang sesat yang tidak diridhoi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, maka ia mendapat (dosanya) dan sebanyak dosa orang lain yang ikut mengerjakannya.“ )HR. Tirmidzi(Dalam Hadits diatas terdapat kalimat “Bid’ah yang sesat”. Dalam Hadits tersebut kata ‘Bid’ah’ dan ‘sesat’ adalah mudhaf dan mudhaf ‘ilaih (gramer Arab). Bila merujuk pada ilmu gramer bahasa Arab, bab “Mudhaf” dan “Na’at-man’ut”, susunan kalimat itu memberi arti adanya Bid’ah yang tidak sesat. Bahkan dalam bahasa Indonesiapun demikian. Kalau Anda berkata “Saya tidak suka tali yang panjang”, itu berarti menurut Anda ada tali yang pendek.Sebagai penutup bab ini, mari kita renungkan firman Allah SWT berikut ini :وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ َانْتَهُوْا‘Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja yang dilarang oleh Rasul maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7)

Coba perhatikan, ayat diatas dengan jelas menyebutkan bahwa perintah agama adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan yang dinamakan larangan agama adalah apa yang memang dilarang oleh Rasulullah SAW. Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan:وَماَ لَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا “Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulul maka berhentilah (mengerjakannya).”

Juga dalam Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari:

اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ فَاجْتَنِبُوْهُ“Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu maka lakukanlah semampumu, dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah ia.” Perhatikan, dalam Hadits ini Rasulullah SAW tidak mengatakan: وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ“Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan maka jauhilah ia!’

Jadi, pemahaman melarang semua hal baru (Bid’ah) dengan dalil Hadits “Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah Bid’ah” dan Hadits “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ..“ adalah pemahaman yang tidak benar, karena banyak pernyataan atau ikrar dari Rasulullah SAW dalam Hadits-hadits yang lain yang menyimpulkan adanya restu beliau terhadap banyak hal baru atas inisiatif para sahabat. Dari itu, para ulama menarik kesimpulan bahwa Bid’ah (prakarsa) sesat ialah yang bersifat men-syari’atkan hal baru dan menjadikannya sebagai bagian dari agama tanda seizin Allah Allah SWT (QS Asy-Syura : 21), serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam, misalnya sengaja shalat tidak menghadap kearah kiblat, shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir, melakukan shalat dengan satu sujud saja, melakukan shalat shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan sebagainya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.Makna Hadits yang mengatakan “mengada-adakan sesuatu” adalah masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Misalnya ada orang mengatakan bahwa shalat wajib itu dua kaili sehari, padahal agama menetapkan lima kali sehari. Misalnya juga, orang yang sanggup -tidak berhalangan- berpuasa wajib pada bulan Ramadhan boleh tidak perlu puasa pada bulan tersebut, tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apa saja. Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama, bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.


________________________________________[1] “Al-Munjid fil Lughah wal-A’lam“, alpabet ب[2] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XIII : 253.[3] Iqthidho Shirath al-Mustaqim hal. 272[4] Tafsir al-Manar, IX: 60.[5] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XV : 179, Dar al-Fikr, Beirut[6] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Baari, IV : 318.[7] Syarh an-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, VI : 154-155, Dar Ihya Turats al-Arab, Beirut.[8] An-Nawawi, Syarah Sahih Muslim, VI : 154.[9] KH. Ali Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah.[10] Diriwayatkan dari 'Aiysah dan Abu Hurairah oleh al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad melalui sembilan belas periwayatan.[11] KH. Ali Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah

0 comments:

Post a Comment